Di Tengah Gempuran Makanan Modern, Mie Cepet Bertahan
--
BANDARLAMPUNG - Di tengah gempuran makanan modern, Mie Cepet sebagai makanan tradisional tetap eksis.
Agnes (52), pemilik usaha Mie Cepet di Kelurahan Gunungsulah, Bandarlampung, membuka usahanya dari tahun 1992. Berbekal ilmu dari orang tua dan modal Rp10 juta, ia mulai merintis usaha hingga kini sudah memiliki tiga karyawan.
Ia mengatakam satu kali produksi usahanya bisa 200 hingga 350 kilogram per hari "Saya produksi setiap hari. Kecuali hari raya. Sekali produksi bisa menghasilkan sekitar 2 hingga 3,5 kwintal mie cepet. Saya jualnya per satu kilo dengan harga Rp15 ribu," kata Agnes kepada Radar Lampung, Rabu (12/11).
Untuk bahan baku, mie cepet terbuat dari sagu. Proses pembuatannya memakan waktu cukup lama bahkan untuk mengakalinya, Agnes harus membagi waktu. "Proses produksinya dicicil dari malam. Setelah diaduk, kita mulai cetak (mie) dari malam. Setelah cetak, kita biarkan dulu, diangin-angin,” ungkapnya. Setelah dicetak, mie kemudian masuk tahap perebusan, lalu dicuci dan diberi bumbu.
Untuk penjualan kata Agnes, mie cepet yang ia produksi ke para pedagang di pasar. Sampai saat ini, mie produksi usahanya di beberapa pasar area di Bandarlampung hingga ke luar kota Bandarlampung.
"Untuk pemasarannya saya jual sampai ke Pasar Tugu, Pasir Gintung, Wayhalim, dan Way Kandis. Untuk di luar Bandarlampung saya jual ke Pasar Natar, Jatimulyo, dan Tegineneng," ucapnya.
Bicara omset, Agnes mengatakan pendapatan dari jualan mie 200 kilo hingga 350 kilo per hari sekitar Rp 2 juta lebih.
Agnes tak khawatir usahanya sepi, walaupun di sekitar banyak yang juga memproduksi mie cepet. Ia yakin rezeki sudah diatur Tuhan. "Ya pokoknya yang penting menjaga kualitas dan rasa. Biasanya kalau soal rasa, kebanyakan pada cari ke sini," ujarnya.(mk-sintia/c1/nca)