“Yang kami khawatirkan utamanya adalah penurunan produksi pada jenis SKT yang padat karya, karena kenaikan HJE dan pungutan lain akan memicu penurunan permintaan yang berakibat pada nasib pekerja,” kata Henry Najoan.
Gappri juga menyebut, kenaikan HJE yang tinggi pada SKT akan membuat peredaran rokok ilegal makin marak. Perlu diingat, selama ini SKT memiliki harga jual yang terjangkau sehingga membuat rokok tersebut menjadi tameng dalam menghadapi serbuan rokok ilegal.
“Jika rokok jenis SKT tidak lagi kompetitif, kami kira rokok ilegal akan semakin banyak di pasaran,” tutur Henry.
Padahal, lanjut Henry Najoan, Gappri pernah memohon kepada pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu), agar industri hasil tembakau memperoleh relaksasi dengan tidak menaikkan tarif CHT dan HJE sepanjang 2025-2027.
Permohonan ini dimaksudkan agar industri hasil tembakau bisa pulih usai mengalami kontraksi akibat dampak CHT dan HJE di atas nilai keekonomian selama 2020-2024, selain akibat dari pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih.
Terkait PPN, Gappri belum lama ini melayangkan surat kepada Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati. Dalam surat, Gappri memohon agar permintaan PPN rokok tetap 9,9 persen dikabulkan agar Industri Hasil Tembakau (IHT) bisa bertahan karena masih dalam kondisi belum stabil.
“Agar pengaturan pada PMK No. 63/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau dapat segera diharmoniskan dengan arah kebijakan pemerintah yang disampaikan oleh Ibu Menteri Keuangan pada 31 Desember 2024, mengingat IHT tidak masuk kriteria barang mewah,” kata Henry Najoan.
Gappri menjelaskan, PPN tidak naik agar tidak ada efisiensi terhadap tenaga kerja sehingga kelangsungan tenaga kerja tetap terjaga. Gappri juga mencatat, Presiden Prabowo Subianto telah memutuskan tarif dasar PPN tidak naik atau tetap 11 persen.