Pemerintah Diminta Gali Sumber Pendapatan dari Pajak Kekayaan

Kamis 02 Jan 2025 - 21:38 WIB
Reporter : Tim Redaksi
Editor : Syaiful Mahrum

”Jadi, mulai sampo, sabun, dan segala macam yang sudah sering di media sosial itu tetap tidak ada kenaikan PPN. Kalau ada yang bilang dikenakan PPN 12 persen, itu tidak benar,” tutur Ani.

 

Ani menegaskan, barang yang terdampak kenaikan PPN 12 persen hanya barang yang sudah terkena PPnBM. Barang tersebut sebelumnya diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2023 yang jumlahnya disebut cukup sedikit.

 

”Ini hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah yang selama ini sudah kena PPnBM. Nah, itu kategorinya sangat sedikit, limited. Yaitu, barang seperti private jet, kapal pesiar, yacht, dan rumah yang sangat mewah,” tutur Ani

Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira merespons positif kenaikan PPN hanya untuk barang mewah. ”Kenaikan PPN 12 persen hanya untuk barang mewah ini lebih positif ke ekonomi. Meski saat ini harga barang telanjur naik karena aturan teknis PMK terlambat terbit. Pemerintah ke depan diminta lebih tegas untuk membuat aturan agar masyarakat dan pelaku usaha tidak merasa dipingpong,” ujarnya.

BACA JUGA:Penyegelan TPA Bakung Tak Berpengaruh

Hal itu merujuk pada berbagai pihak yang lebih dulu menaikkan harga dan membebankannya kepada konsumen meski pada akhirnya pemerintah hanya mengenakan kenaikan PPN 12 persen untuk barang mewah.

Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk meraih pundi-pundi penerimaan lain saat kenaikan PPN 12 persen dibatalkan? Bhima menyebut banyak opsi yang bisa dilakukan untuk menggenjot penerimaan akibat PPN yang tidak jadi naik.

Pertama, pemerintah bisa merancang pajak kekayaan, yakni total harta orang superkaya dipajaki 2 persen. ”Jadi, bukan pajak penghasilan ya, tapi pajak harta yang selama ini Indonesia belum punya. Estimasinya akan diperoleh Rp81,6 triliun sekali penerapan pajak kekayaan. OECD dan G20 kan mendorong pemberlakuan pajak kekayaan juga,” imbuh Bhima.

Kedua, pajak karbon yang diamanatkan UU HPP bisa dijalankan tahun ini. Kebijakan ini sejatinya disebut Bhima tak terlalu ruwet. Hanya menunggu pemerintah menerbitkan peraturan menteri keuangan (PMK) yang mengaturnya. ”Begitu diberlakukan ke PLTU batu bara, hasil pajak karbon akan digunakan untuk dorongan belanja energi terbarukan yang serap tenaga kerja. Bagus juga pajak karbon bagi lingkungan hidup,” katanya.

Ketiga, pajak produksi batu bara di luar royalti yang lebih tinggi. Keempat, pemerintah didorong untuk berupaya sungguh-sungguh dalam menutup kebocoran pajak di sektor sawit dan tambang. ”Kelima, pemerintah harus mengevaluasi seluruh insentif pajak yang tidak tepat sasaran,” ujarnya. (jpc/c1)

 

Tags :
Kategori :

Terkait