Meningkatnya keyakinan konsumen pada Agustus 2024 didukung Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang tetap optimistis dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang menguat.
IEK yang tetap optimistis terutama didorong oleh Indeks Penghasilan Saat Ini. Sementara itu, IEK tercatat meningkat pada seluruh komponen pembentuknya, terutama pada Indeks Ekspektasi Penghasilan. IKE yang tetap optimistis dan IEK yang menguat.
IEK yang tetap optimistis terutama didorong oleh Indeks Penghasilan Saat Ini. Sementara itu, IEK tercatat meningkat pada seluruh komponen pembentuknya, terutama pada Indeks Ekspektasi Penghasilan.
Oleh karena itu, wacana konversi subsidi energi yang akan dirupakan dalam bentuk BLT dinilai banyak membantu memulihkan ”stamina ekonomi” masyarakat kalangan menengah ke bawah dan kelas menengah yang tertatih-tatih pasca hantaman pandemi Covid-19.
Menurut catatan, sepanjang 2022–2023, setidaknya terdapat empat jenis BLT seperti BLT minyak goreng, BLT BBM, BLT dana desa, hingga BLT El Nino disalurkan kepada jutaan keluarga miskin untuk menjaga daya beli mereka, termasuk untuk menurunkan kemiskinan ekstrem di desa.
Untuk diketahui, dalam lima tahun terakhir, anggaran subsidi energi yang mencakup subsidi BBM, LPG 3 kg, dan listrik dalam postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) terus meningkat. Pada APBN 2024, subsidi mencapai Rp 189,1 triliun dengan terbesar pada subsidi listrik Rp 75,8 triliun.
Aspek penting yang ingin dicapai dengan adanya konversi subsidi energi dalam bentuk BLT adalah pertama, mendongkrak kembali daya beli masyarakat yang terdampak pelemahan ekonomi.
Terutama, masyarakat golongan menengah ke bawah dan kelas menengah yang dalam ancaman kelompok rentan miskin.
Kedua, adanya asupan BLT bagi warga terdampak setidaknya bisa mengompensasi alokasi anggaran kebutuhan rumah tangga yang tergerus oleh dampak inflasi.
Akan tetapi, pemerintah juga perlu berhati-hati dan mempertimbangkan secara matang terhadap wacana pelaksanaan konversi subsidi BBM.
Bila tidak cermat, konversi energi yang dirupakan dalam bentuk BLT itu akan menjadi bumerang.
Pertama, adanya alokasi APBN untuk konversi energi tentu akan mengurangi anggaran subsidi BBM yang berarti akan ada potensi kenaikan harga BBM itu sendiri. Itu dikhawatirkan memicu inflasi yang disebabkan naiknya harga barang.
Kedua, sasaran BLT kepada masyarakat yang membutuhkan sangat memerlukan kesinambungan pembaruan data yang cermat. Dengan demikian, potensi munculnya BLT yang salah sasaran dapat diminimalkan.
Ketiga, secara langsung ataupun tidak langsung, alokasi anggaran biaya pengawasan distribusi BLT kepada warga terdaftar penerima juga ikut terkerek.
Terlepas dari aspek pro-kontra, wacana konversi subsidi energi dalam bentuk BLT sebenarnya bukan merupakan hal baru yang hendak diimplementasikan pemerintah demi mencapai penguatan dan pemberdayaan masyarakat yang terdampak pelemahan ekonomi. (*)
*)Sukarijanto adalah pemerhati Kebijakan Publik dan Peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship & Leadership dan kandidat doktor di Program S-3 PSDM Universitas Airlangga.