Di tengah gejolak ketidakpastian ekonomi global yang diwarnai oleh beberapa konflik regional, seperti perang Rusia-Ukraina, meningkatnya eskalasi konflik Israel-Iran, dan masih tegangnya hubungan dagang AS-Tiongkok, memicu ekonomi dalam negeri mengalami stagnasi.
Meruncingnya ketegangan politik yang berujung pada konflik senjata telah memicu terganggunya rantai pasok global.
Beberapa negara yang menjadi negara tujuan ekspor terhambat zona peperangan sehingga pasokan logistik ekspor maupun impor mencari jalur alternatif yang dengan sendirinya mendongkrak ongkos pengapalan menjadi mahal. Pada gilirannya, harga komoditas menjadi kurang kompetitif.
Di sisi ekonomi domestik, terdapat pelemahan parameter ekonomi yang tecermin pada menurunnya daya beli masyarakat dan kontraksinya kelas menengah Indonesia.
Bank Dunia dalam laporannya yang bertajuk Aspiring Indonesian-Expanding the Middle Class menyimpulkan, satu di antara lima masyarakat Indonesia adalah kelompok kelas menengah.
Bank Dunia juga mengidentifikasi lima kelas masyarakat yang didasari pada perilaku konsumsi yang berbeda di Indonesia. Terdiri atas kelompok miskin, rentan, menuju kelas menengah, kelas menengah, dan kelas atas. Konsumsi kelompok itu tumbuh 12% setiap tahun sejak 2002.
Hampir setengah atau 47% dari seluruh konsumsi rumah tangga Indonesia berasal dari kelompok kelas menengah itu. Secara populasi, jumlah mereka mencapai 52 juta jiwa atau 20% dari total penduduk.
Terdapat sekitar 56% alokasi pengeluaran kelompok kelas menengah dipakai untuk pendidikan dan kesehatan serta memiliki aset yang cukup untuk berwirausaha.
Dalam laporan Indonesia Economic Outlook Triwulan III/2024, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengelompokkan kelas menengah sebagai penduduk yang memiliki peluang kurang dari 10% menjadi miskin atau rentan di masa depan berdasar tingkat konsumsinya saat ini.
Kelas menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara lantaran menyumbang 50,7% dari penerimaan pajak, sementara calon kelas menengah menyumbang 34,5%.
Sebagaimana menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pajak yang dimaksud merupakan pajak penghasilan, pajak properti, dan pajak kendaraan bermotor.
Rasio itu terus mengalami tren penurunan menjadi 10,21% di tahun 2023. Hasil survei juga mencatat bahwa daya beli kelas menengah terus tergerus sejak 2018. Pada 2018, porsi konsumsi kelas menengah mencapai 41,9% dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Terjadi tren penurunan sejak itu. Pada 2023, total konsumsi kelas menengah hanya mencapai 36,8% dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Kontribusi pajak mereka sangat mungkin berkurang jika daya beli kelompok itu kian tergerus, dan pada gilirannya berpotensi memperburuk rasio pajak terhadap PDB yang sudah rendah dan mengganggu kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dan membiayai proyek pembangunan dan program keberlanjutan ekonomi.
Di sisi lain, terdapat parameter ekonomi yang cukup menggembirakan, yakni hasil survei kepercayaan konsumen Bank Indonesia pada Agustus 2024 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi perekonomian dalam tren positif, yakni mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Hal itu tecermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Agustus 2024 sebesar 124,4, lebih tinggi daripada 123,4 pada bulan sebelumnya.