JAKARTA – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengingatkan potensi polarisasi yang dapat muncul dalam Pilkada 2024, terutama di wilayah dengan hanya satu pasangan calon (paslon tunggal) dan dua pasangan calon. Menurutnya, fenomena ini harus diantisipasi dengan baik agar tidak menimbulkan ketegangan yang merugikan.
’’Fenomena ini harus menjadi perhatian serius, terutama di 37 daerah yang hanya memiliki satu paslon dan 202 daerah dengan dua pasangan calon. Kita harus siap menghadapi situasi yang mungkin menjadi semakin panas,” ujar Sigit dalam siaran pers yang diterima, Kamis (7/11).
Kapolri juga menekankan pentingnya belajar dari pengalaman Pilkada sebelumnya, di mana ketidakpuasan terhadap hasil pilkada sering kali berujung pada konflik, mulai dari sengketa hingga kerusuhan.
“Kita harus menyadari bahwa ketidakpuasan terhadap hasil pilkada bisa memicu eskalasi, yang berpotensi memunculkan sengketa dan bahkan kerusuhan. Fenomena ini cenderung terjadi di daerah-daerah tertentu,” lanjutnya.
Sigit mengimbau agar Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di seluruh wilayah siap mengantisipasi dan mengelola potensi masalah yang dapat muncul selama proses Pilkada.
Mengingat pelaksanaan Pilkada kali ini dilakukan serentak, kesiapan menghadapi segala kemungkinan menjadi semakin penting.
“Tantangan kali ini lebih besar karena Pilkada digelar serentak. Oleh karena itu, rekan-rekan di daerah harus mampu menganalisis potensi konflik dan memiliki kesiapan penuh untuk menangani segala permasalahan yang muncul,” tandasnya.
Polarisasi politik, menurut Kapolri, akan lebih tinggi dibandingkan dengan Pilpres, karena di beberapa daerah hanya ada dua pilihan calon yang memicu dinamika politik yang lebih intens.
Sebelumnya, Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty menilai seluruh tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada) rawan konflik karena adanya potensi gesekan.
’’Misalnya dengan calon potensial yang akan maju, potensi konflik sangat tinggi, terutama dengan lingkungan terdekat. Masyarakat akan memilih pemimpin terbaik di daerah yang dekat dengan kehidupan mereka. Sehingga konflik bisa terjadi bukan hanya di kalangan elite, tetapi juga di tingkat lokal,” kata Lolly dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Menurut Lolly, terdapat perbedaan definisi antara pemilu dan pemilihan dalam undang-undang. Sebagai contoh, undang-undang pemilu melarang penghinaan berdasarkan agama, suku, ras terhadap calon gubernur, bupati, dan wali kota.
“Namun, di undang-undang pemilihan, terdapat penekanan pada kampanye yang menghasut dan memfitnah, serta mengadu domba partai politik, perseorangan, atau kelompok masyarakat,” ujarnya.
Lolly juga menjelaskan bahwa ada pertanyaan kunci mengenai definisi kampanye dalam undang-undang kepala daerah.
“Dalam Undang-Undang Pemilu, definisi kampanye lebih detail dan mencakup unsur-unsur citra diri, tetapi dalam UU Kepala Daerah, definisi kampanye sangat umum dan tidak mendetailkan unsur-unsurnya, seperti siapa yang dapat dikenai objek kampanye dan bentuk kampanye yang dilarang,” jelasnya.
Bawaslu berusaha mengidentifikasi pasal-pasal yang berpotensi menjadi pasal karet dan sulit dieksekusi, serta pasal-pasal yang mungkin menimbulkan konflik antar penyelenggara.