Itu yang diutarakan oleh Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati mengatakan bahwa sistem pemilu saat ini telah diputuskan untuk dilakukan secara serentak berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.
Namun, tujuan untuk menguatkan sistem presidensial, serta melihat dari proses dan hasil pemilu, ternyata belum mencapai apa yang diinginkan.
“Pada Pemilu 2019 kita mengalami kompleksitas yang luar biasa, dan pemilu serentak lima kotak kita ulangi lagi pada Pemilu 2024,” kata Khoirunnisa saat rapat bersama Badan Legislasi di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu.
Khoirunnisa menjelaskan bahwa kompleksitas yang terjadi adalah soal banyaknya surat suara yang tidak sah karena masalah yang dialami oleh pemilih.
Pada tahun 2019 ada sekitar 17 juta suara yang tidak sah dan pada tahun 2024 ada sekitar 15 juta surat suara yang tidak sah.
Jika nantinya pembahasan revisi UU Pemilu bergulir, dia memprediksi bahwa perdebatan yang bakal terjadi adalah soal pemungutan suara dengan sistem terbuka atau tertutup.
“Biasanya perdebatan kerasnya pada isu itu saja, padahal menurut kami banyak hal lain yang sebetulnya juga penting untuk ditelusuri kembali,” kata dia.
Selain itu, Khoirunnisa mengatakan bahwa revisi UU Pemilu diperlukan karena UU tersebut yang paling banyak diuji di Mahkamah Konstitusi.
“Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 telah diuji sebanyak 134 kali sejak disahkan,” katanya.
Sebetulnya pasca-Pemilu 2019, kata dia, sudah ada keinginan untuk merevisi Undang-Undang Pemilu, tetapi batal karena pada waktu itu terjadi hambatan karena COVID-19. (ant/c1/abd)