Menepis Kecemasan Aldous Huxley
-FOTO IST-
Oleh:Eri Irawan-Pegiat Kebijakan Publik
TEKNOLOGI merupakan pedang bermata dua. Setidaknya bagi Aldous Huxley, seorang filsuf Inggris penulis buku “Brave New World”, kemajuan teknologi bisa berpotensi hanya menghadirkan sarana yang lebih efisien untuk bergerak mundur menjauhi kemanusiaan itu sendiri—justru karena saking kuatnya pengaruh teknologi.
Huxley agak ragu dengan teknologi yang menjauhkan manusia dari fitrahnya. Namun peradaban dibentuk dari penemuan dan keberanian. Peperangan dan perdamaian. Tentu saja, teknologi menakutkan. Setidaknya kita tahu bagaimana sejarah peradaban dunia jatuh dan bangun, runtuh dan ditata kembali, karena teknologi.
BACA JUGA:Mengantisipasi Eskalasi Konflik Taiwan-Tiongkok
Teknologi merapikan chaos, dan itulah yang kemudian menjadi bagian dari lahirnya anak kandung peradaban bernama kota. Kota-kota yang senantiasa dituntut untuk utuh dan bertumbuh dari waktu ke waktu. Di masa sempit maupun lapang. Di tengah riuh yang berantakan atau keteraturan yang membosankan.
Teknologi adalah bagian dari peradaban yang membentuk sistem pemerintahan yang bekerja tak kasat mata, dalam senyap. Setiap hari kita hanya melihat para pegawai kota praja yang berangkat pagi dan pulang menjelang petang. Berseragam dan bekerja di kantor-kantor yang dibiayai dengan pajak. Membuat keputusan-keputusan yang menentukan hendak ke mana sebuah kota bergerak: berlari menuju kemajuan atau runtuh di tengah jalan bersama sejarah.
Namun teknologi membuat pemerintah bekerja dalam pertautan dan keserempakan dengan bingkai regulasi yang jelas dan transparan. Golnya satu: pelayanan yang lebih baik.
BACA JUGA:Pakar Nilai Putusan Batas Usia Tak Bisa Diterapkan di Pilkada 2024
Dunia telah memberi banyak contoh bagaimana teknologi mengubah kota, dan kota mengubah teknologi. Kota dan teknologi, teknologi dan kota, adalah dua sisi dari satu keping mata uang yang membentuk archetype, pola dasar, dari peradaban maju umat manusia. Dari London, Tokyo, Paris, sampai Seoul, kota-kota di papan atas Global Power City Index; teknologi dengan beragam sektor penerapannya sukses memainkan peran penting dalam kemajuan kota.
Teknologi dan kota, kota dan teknologi, dalam lansekap kota-kota dunia saat ini telah melompat sangat jauh: tak sekadar pasang CCTV, atau lomba bikin aplikasi; melainkan telah menjadi solusi terintegrasi untuk berbagai sektor kehidupan, dari pendidikan, kesehatan, lingkungan, transportasi, hingga pelayanan publik.
Di Surabata misalnya, kota metropolitan dengan besaran ekonomi terbesar kedua di republik ini, penerapan teknologi juga mengubah paras pelayanan kota kepada warganya. Penerapannya lazim disebut “Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE)”, sebuah ekosistem digital yang terbentang soal kebijakan, tata kelola, hingga layanan internal pemerintah dan layanan eksternal alias publik.
Surabaya dinobatkan sebagai kota dengan indeks SPBE terbaik se-Indonesia, dengan 47 indikator yang dibedah 30 perguruan tinggi dan lintas kementerian/lembaga. Penghargaan diterima Wali Kota Eri cahyadi di Istana Negara, Senin (27/5/2024) lalu, diserahkan Presiden Joko Widodo.
Sentuhan teknologi membuat pemerintah kota seperti Surabaya tak hanya bekerja lebih akuntabel, namun juga memungkinkan masyarakat mengakses informasi untuk terlibat lebih serius dalam proses pengambilan keputusan, termasuk memberikan informasi dan mengawasi pemerintahan.
Pemkot Surabaya berikhtiar menyatukan semua pelayanan publik dalam satu sistem besar bernama Surabaya Single Window (SSW) Alfa yang ditopang sejumlah platform lain—meski tentu belum sepenuhnya sempurna, yang pada akhirnya memudahkan warga kota dalam mengurus hidup mereka. Dan itulah sesungguhnya makna birokrasi: mengurus warga dari ayunan hingga liang lahat. Prinsip ini menjadikan Surabaya sebagai bagian dari peradaban kota-kota di dunia.