Mengantisipasi Eskalasi Konflik Taiwan-Tiongkok
-FOTO IST-
Oleh: A. Safril Mubah- Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga
SEIRING pelantikan Lai Ching-te sebagai Presiden Taiwan pada 20 Mei 2024, hubungan Taiwan dengan Tiongkok bakal kian konfliktual. Dalam kabinet Lai, semua jabatan terkait keamanan nasional dan politik luar negeri diduduki figur-figur kunci dalam pemerintahan sebelumnya yang dipimpin Tsai Ing-wen. Wellington Koo yang semula menjabat sekretaris jenderal Dewan Keamanan Nasional kini menjadi menteri pertahanan. Posisi yang ditinggalkan Koo diisi Joseph Wu yang sebelumnya menduduki menteri luar negeri. Sementara Wu digantikan mantan Wali Kota Taichung Lin Chia-lung.
Dengan komposisi semacam itu, kebijakan Lai mungkin serupa dengan Tsai. Namun, Lai memiliki garis politik sedikit berbeda dengan Tsai dalam memosisikan Taiwan menghadapi Tiongkok. Selama ini Lai kerap menuding Tiongkok sebagai penyebab meningkatnya ketegangan di Selat Taiwan. Berbeda dengan Tsai yang bersikap moderat dengan menyatakan bahwa Taiwan sudah menjadi negara berdaulat sehingga tidak perlu mendeklarasikan kemerdekaan, Lai adalah sosok pemimpin yang sangat vokal menyuarakan kemerdekaan Taiwan.
BACA JUGA:Pakar Nilai Putusan Batas Usia Tak Bisa Diterapkan di Pilkada 2024
Semasa kampanye pilpres, Lai cenderung menahan diri dalam mendorong kemerdekaan Taiwan karena dia sadar bahwa mayoritas publik Taiwan menginginkan kondisi satus quo. Survei National Chengchi University (2024) menghasilkan temuan bahwa 88,8 persen rakyat Taiwan menginginkan status quo. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi daripada rakyat yang menginginkan merdeka (3,8 persen) dan unifikasi Taiwan dengan Tiongkok (1,2 persen).
Persoalannya, tidak ada jaminan Lai akan terus mempertahankan sikap moderatnya setelah dilantik sebagai presiden. Konsekuensi ke depan, pemerintah Tiongkok bakal terus menekan Taiwan. Pada titik tertentu, tekanan pemerintahan Xi Jinping bakal dilawan secara tegas oleh pemerintahan Lai. Mengantisipasi kemungkinan eskalasi konflik itu, Indonesia perlu meningkatkan kesiagaan demi mengamankan kepentingannya untuk melindungi WNI yang tinggal di Taiwan.
Dua Skenario
Dinamika relasi Taiwan dan Tiongkok berpotensi memunculkan dua skenario di masa depan. Pertama, hubungan keduanya akan stabil jika masing-masing pihak menahan diri dengan memelihara status quo. Kedua, konflik bersenjata di antara keduanya akan terjadi jika Taiwan mendeklarasikan kemerdekaan atau Tiongkok menganeksasi wilayah Taiwan.
Bagi Indonesia, situasi status quo di Selat Taiwan memberikan keuntungan besar berupa terjaminnya stabilitas regional. Sepanjang delapan tahun terakhir, situasi semacam itu terus berlangsung dengan berbagai macam dinamikanya. Sejak 2016 Taiwan berupaya menjauh dari Tiongkok dan mendorong semakin eratnya hubungan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan. Dampaknya, nilai total investasi antara Taiwan dan Tiongkok semakin menurun.
BACA JUGA:Libatkan Stakeholder, Pascasarjana UIN RIL Gelar FGD Kurikulum OBE
Dalam ranah diplomatik, Tiongkok terus mempersempit ruang gerak Taiwan di panggung internasional. Pemerintahan Xi membujuk negara-negara mitra diplomatik Taiwan untuk memindahkan pengakuannya dari Taipei ke Beijing. Akibatnya, Taiwan kehilangan 10 dari 22 mitra diplomatiknya sepanjang dua periode pemerintahan Tsai (2016–2024).
Masalah keamanan juga menjadi tantangan besar Taiwan. Tiongkok tidak pernah berhenti menggertak Taiwan dengan melontarkan ancaman aneksasi wilayah Taiwan. Setiap hari pesawat tempur Tiongkok selalu melintasi garis tengah Selat Taiwan dan bahkan masuk ke wilayah udara Taiwan.
Walaupun tetap dalam kondisi status quo, perkembangan tersebut mencerminkan eskalasi ketegangan di Taiwan. Celakanya, status quo itu tidaklah terjadi dalam keadaan damai yang berkelanjutan, tetapi cenderung mengarah ke konflik bersenjata. Situasi semacam itu bakal berdampak buruk pada kawasan, termasuk Indonesia, karena sesungguhnya negara kita memiliki kepentingan untuk melindungi WNI yang tinggal di Taiwan.