Aku yang Segera Hilang

-Ilustrasi Pixabay-

Terlihat raut wajah kesal Sullivan. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Sullivan setelahnya. Aku terus berjalan menuju rumah secepatnya dengan memegangi perutku.

Selama dalam perjalanan pulang, napasku terasa sesak. Kakiku seperti keram. Mataku mulai berkunang-kunang dan jalanku makin sempoyongan. Tanpa sadar aku terjatuh di pinggir jalan. Terasa seperti ada tangan yang hangat merangkulku dan menyentuh wajahku. Memang mataku sudah tidak kuat dibuka lagi, tetapi telingaku masih bisa mendengar. Dari suaranya, itu adalah seorang wanita. Terdengar panik suaranya mengerang dan meminta tolong. Aku perlahan-lahan mulai kehilangan kesadaran. Suaranya perlahan-lahan tenggelam hingga aku tidak bisa mendengarnya lagi.

Saat bangun, kamarku tampak sangat asing. Terlihat juga tabung oksigen di sebelahku. Terasa hangat tangan ibu yang memegang tanganku. Ibu duduk dan tertidur di sampingku. Akhirnya aku sadar, ternyata aku sedang di rumah sakit. Saat aku menggerakkan tanganku tiba-tiba ibu terbangun. Ia menatapku sendu dan meneteskan air mata. Aku bertanya apa yang terjadi kepadaku. Ibu bilang aku sudah koma selama 2 hari. Aku sangat terkejut karena aku hanya ingat perutku sangat sakit dan aku ditolong oleh seorang wanita misterius saat itu. Saat aku bertanya sebenarnya sakit apa aku kepada ibu, ibu hanya terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Lalu, ia berkata, “Sabar ya, Nak. Dokter sedang di laboratorium untuk mencari tahu penyakitmu.”

Saat itu hari Minggu pagi. Ibu datang dengan seorang wanita yang mengikutinya dari belakang. 

“Ini cewek yang menolong kamu waktu itu,” Ibu memperkenalkanku kepadanya. Di situ Ibu berterima kasih kepada wanita itu dan tidak lupa aku juga mengucapkan terima kasih. 

Dia adalah Sekar, siswi SMA-ku yang sangat pendiam dan sepertinya anak yang introver. Dia adalah anak MIPA yang tentu saja tidak pernah kukenal karena kelas kami relatif cukup jauh. Saat itu Ibu memberitahuku bahwa ia ada urusan dan meminta tolong kepada Sekar untuk menjagaku. Ia pun bergegas meninggalkan kami berdua dan pergi.

  Suasana terasa canggung saat itu. Aku bingung harus mulai bicara dari mana. Di tengah keheningan itu, seorang suster mengetuk pintu dan masuk dengan membawa sarapan untukku. 

“Tolong, Mbak. Mas ini disuapin ya.” 

Ucapan suster saat itu membuat kami berdua malu. Suasana semakin canggung setelah suster itu meninggalkan kamarku. Tanganku terasa lemas. Hampir saja semangkuk bubur itu tumpah, tetapi beruntung Sekar dengan cekatan meraihnya. Ia juga mengambil sendoknya. Dengan tangan yang bergetar ia mulai menyuapiku. Terlihat wajahnya memerah. Aku benar-benar merasa sangat canggung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan saat itu. Aku mulai membuka mulut dan perlahan mengunyah bubur itu. Kenapa aku merasa bubur ini sangat enak? Atau, apakah ini cuma perasaanku saja? Aku juga tidak tahu. 

Sendok demi sendok, aku sangat menikmatinya, hingga tak terasa bubur itu telah habis. Sekar melihat ke arahku dan mulai menjulurkan tangannya. Ia membersihkan bubur yang menempel di pipiku. Disentuh olehnya membuatku teringat lagi saat kejadian waktu itu. Tangannya sangat lembut dan menenangkan. Aku terdiam dan menahan dadaku yang sepertinya telah terisi penuh oleh ombak laut yang terus-menerus bergejolak hebat.

Sore hari, dokter menganjurkanku untuk berjalan-jalan sebentar mencari udara segar. Tidak ada Ibu di sana, hanya ada Sekar dan aku. Dengan terpaksa Sekarlah yang membawaku berkeliling. Berjalan-jalan dengannya terasa sangat menyenangkan. Suasana yang tenang seperti ini dapat me-restart kondisi badanku. Aku seperti lupa akan sakitku. Pepohonan dan dedaunan terasa menari, menyambutku datang.

Setelah kembali ke kamar rawat, Ibu terlihat sedang menunggu kami. Ia membawakan kami puding. Puding itu terasa sangat enak. Entah karena kami menikmatinya bersama atau karena aku sedang merasa bahagia saat itu. Ibu juga berkata bahwa ayah akan pulang dari luar kota besok. 

Malam harinya, ditemani tetes-tetes air infus, aku seperti sedang berada di tengah laut. Terombang-ambing oleh gejolak dalam dada. Mataku tak sanggup mengganti bayangan wajahnya. Hasrat selalu ingin bertemu ini menyiksaku. Sedikit demi sedikit akhirnya aku sadar akan perasaanku ini. Terlelap dengan bayangannya yang memenuhi kepalaku ternyata tidak terlalu buruk.

Senin pagi aku terbangun dari tidurku. Rasa hati gembira seketika remuk. Apakah ia akan datang ke sini pagi ini? Aku bertanya-tanya hingga tak sadar Ibu datang dengan membawa sarapan untukku. Anehnya ibu membawakanku bubur ayam, bukan bubur hambar seperti waktu itu. Sepertinya Ibu sengaja membeli bubur di luar karena kasihan aku hanya memakan bubur hambar rumah sakit. Ibu perlahan-lahan menyuapiku. Anehnya, suap demi suap bubur terasa biasa saja bagiku. Berbeda sekali dengan bubur yang kumakan kemarin sore. Seketika hal itu mengingatkanku kembali kepada Sekar.

Tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu lalu masuk. Itu adalah dokter. Dokter itu menatapku sambil tersenyum sendu. Ia meminta Ibu untuk keluar dan berbincang sebentar. Aku merasa ada yang aneh dengan tatapan dokter tadi. Akhirnya aku beranjak dari tempat tidur perlahan-lahan karena infus itu masih tertancap di tanganku. Aku berjalan perlahan menggerakkan kakiku yang kaku menuju balik pintu itu. Ternyata dokter itu sedang menjelaskan tentang penyakitku. Dokter itu berkata bahwa lever Ibu dan Ayah tidak ada yang cocok denganku. Akhirnya aku tahu, ternyata leverku sudah rusak dan tidak bisa digunakan lagi karena terlalu banyak minum obat-obat pereda nyeri dengan dosis yang tinggi. Aku termenung, perasaanku hancur saat itu juga ketika aku tahu waktuku sekarang sangat terbatas dan sudah tidak lama lagi aku akan segera hilang dari dunia ini. Kakiku lemas. Aku terjatuh dan tergeletak pingsan saat itu juga. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan