BPTD Cuci Tangan, Penegakan ODOL Dilempar ke Polisi

Radar Lampung Baca Koran--
BANDARLAMPUNG– Penegakan hukum terhadap truk over dimension over loading (ODOL) di Lampung semakin mirip lelucon birokrasi yang menyedihkan. Bukannya menunjukkan ketegasan, instansi terkait malah saling lempar tanggung jawab.
Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kelas II Lampung, yang seharusnya berada di garda depan pengawasan, justru ’’membantal’’ ke polisi sambil berlindung di balik alasan efisiensi anggaran dan ketiadaan petunjuk teknis.
BACA JUGA:Kemenkes Tegaskan: Puskesmas Wajib Tindaklanjuti Siswa yang Terindikasi Sakit Kuning Saat Skrining
Padahal, keberadaan jembatan timbang Blambanganumpu di Waykanan yang menjadi benteng pertama penyaring truk ODOL dari Sumatera Selatan telah lama mati suri. Rakyat, DPRD, akademisi, bahkan Dinas Perhubungan pun sepakat aktivasi jembatan timbang adalah harga mati. Namun hingga hari ini, tak ada kepastian kapan fasilitas itu kembali hidup.
’’Kita sudah siapkan data dukung untuk revitalisasi. Tetapi dengan adanya kebijakan efisiensi, belum bisa dipastikan kapan bisa dioperasikan lagi,” ujar Kepala BPTD Kelas II Lampung Jonter Sitohang saat dikonfirmasi, Minggu (3/8).
Alih-alih menunjukkan inisiatif, Jonter secara terang-terangan menyebut penegakan hukum ODOL di jalan nasional bukan urusan BPTD. Ia berdalih lembaganya hanya bisa bertindak di dalam area jembatan timbang. Selebihnya urusan polisi.
’’Kami hanya bisa menindak di jembatan timbang. Di jalan lintas, itu wewenangnya polisi. Kalau Dishub ingin menindak, juga harus didampingi polisi,” ujarnya.
Lalu siapa yang bertanggung jawab ketika truk-truk bermuatan batu bara melebihi kapasitas tersebut melintas bebas dari perbatasan Sumsel hingga Bandarlampung? Dinas Perhubungan daerah dan provinsi saat ditanya justru melempar ke BPTD. Sementara, BPTD menyebut bahwa itu kewenangan polisi.
Jonter juga menyinggung belum adanya surat keputusan bersama (SKB) 12 kementerian/lembaga sebagai alasan lambannya penindakan. “Kami masih menunggu SKB dan juklak-juknis dari pusat,” kata Jonter.
Lucunya, di tengah banjir pelanggaran dan keluhan masyarakat, BPTD hanya mengandalkan spanduk dan leaflet sebagai “senjata” pemberantasan ODOL. Bukan penindakan, bukan razia, hanya sosialisasi. Ironi yang mengiris.
Sementara itu, truk-truk ODOL melenggang bebas di atas jalan-jalan nasional yang dibiayai dari pajak rakyat. Jalan rusak, kecelakaan meningkat, dan biaya logistik justru membengkak semua akibat pemerintah yang memilih diam dengan dalih ’’efisiensi”.
Diberitakan sebelumnya, Kesan ketidakbecusan terhadap penindakan armada over dimension over loading (ODOL) berbuntut panjang. Khususnya angkutan batu bara yang melintasi Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) di wilayah Kabupaten Lampung Utara (Lampura).
Kesan ketidabecusan penmindakan ini pun mendorong DPRD Lampura mengambil langkah serius dengan rencana pembentukan panitia khusus (pansus) untuk menangani permasalahan tersebut.
Anggota Komisi III DPRD Lampura William Mamora menegaskan bahwa stakeholder terkait, termasuk Pemerintah Kabupaten Lampura, harus bersikap tegas melarang truk batu bara dan kendaraan pengangkut semen yang melebihi kapasitas muatan untuk melintas di jalan umum, terutama di wilayah Lampura.