Ukur Ulang HGU Tak Perlu Minta Izin Perusahaan

Dosen Fakultas Hukum UBL Okta Ainita, S.H., M.H. Dia menilai pengukuran ulang lahan SGC tidak harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemegang HGU.-FOTO DOK -
BANDARLAMPUNG – Polemik pengukuran ulang lahan hak guna usaha (HGU) milik Sugar Group Companies (SGC) di Provinsi Lampung kembali menjadi sorotan. Desakan agar pemerintah segera melakukan pengukuran ulang terus bergulir, tak hanya dari DPR RI, tetapi juga dari berbagai pihak.
Seperti diketahui, HGU SGC yang mencapai 84.523,919 hektare dipertanyakan kejelasan batas, kontribusi terhadap negara, serta kebermanfaatannya bagi daerah.
Komisi II DPR RI pun sudah menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama Kementerian ATR/BPN dan secara eksplisit meminta dilakukan pengukuran ulang lahan-lahan HGU milik korporasi besar itu.
Namun dalam rapat koordinasi Pemerintah Provinsi Lampung dan forkopimda pada Rabu (16/7/2025) di Hotel Akar, Kepala Kanwil BPN Lampung Hasan Basri Natamenggala menyebut pengukuran ulang tidak bisa serta-merta dilakukan tanpa permohonan atau persetujuan dari pemegang hak. Bahkan, biaya yang dibutuhkan disebut-sebut mencapai Rp10 miliar.
BACA JUGA:Hadapi 14 Potensi Bencana, Siapkan Rp48 Miliar
Pernyataan ini langsung dikritisi oleh pengamat hukum agraria dari Universitas Bandar Lampung (UBL) Okta Ainita, S.H., M.H. Menurutnya, BPN sebagai perpanjangan tangan negara tidak harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemegang HGU jika pengukuran dilakukan dalam kerangka pengawasan, audit, atau penyelesaian sengketa.
“Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dan (3) UUPA, negara melalui BPN memiliki kewenangan penuh untuk mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi penguasaan tanah, termasuk HGU, tanpa harus menunggu izin dari pemegang hak,” tegas Okta saat dihubungi Radarlampung.co.id, Kamis (17/7/2025).
Ia juga mengutip PP No. 40 Tahun 1996 dan Permen ATR/BPN No. 21 Tahun 2020, yang menyebutkan bahwa pengukuran ulang bisa dilakukan sebagai bagian dari pengawasan aktif, apalagi jika menyangkut indikasi pelanggaran atau kepentingan masyarakat luas.
Okta mengingatkan agar persoalan teknis, seperti biaya dan birokrasi persetujuan, tidak menjadi penghalang dalam upaya membangun transparansi agraria di tanah air.
“Jika pengukuran dilakukan atas dasar permintaan DPR dan menyangkut kepentingan publik, maka negara harus menyiapkan anggaran melalui skema belanja negara. Ini bukan urusan pribadi perusahaan, tapi soal mandat konstitusional,” ujarnya.
BACA JUGA:Musim Kemarau, Momen Tepat Evaluasi Pengendalian Banjir di Bandarlampung
Lebih jauh, Okta menyarankan agar Kementerian ATR/BPN melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan internal mereka yang justru berpotensi melemahkan semangat penguasaan negara atas tanah demi kemakmuran rakyat.
“Sudah saatnya negara menunjukkan keberpihakan kepada kepentingan rakyat, bukan tunduk pada korporasi besar,” pungkasnya.
Okta Ainita pun menyarankan, agar dilakukan pengkajian lebih lanjut terkait kebijakan internal ATR/BPN agar tidak bertentangan dengan semangat penguasaan negara atas tanah demi kemakmuran rakyat. (pip/c1/yud)