Memitigasi Middle Income Trap Melalui Orkestrasi Kebijakan Strategis
Radar Lampung Baca Koran--
Oleh: Sukarijanto*
BANK Dunia dalam laporannya, World Development Report (2024), mengungkap fakta bahwa 108 negara, termasuk Indonesia, Brasil, dan Afrika Selatan, sedang dalam fase menghadapi tantangan berat. Yakni bertransformasi menuju negara maju dengan pendapatan tinggi. Namun, kelompok negara itu mengalami kesulitan untuk melakukan transisi.
Mereka tidak dapat melakukan transisi secara bertahap menuju peningkatan status sebagai negara berpenghasilan tinggi. Itu disebabkan produktivitas tenaga kerja yang masih rendah, biaya produksi tinggi, dan produksi barang belum memiliki nilai tambah yang tinggi sehingga tidak dapat bersaing secara internasional. Gambaran situasi itulah yang disebut middle income trap (MIT).
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi melambat, pendapatan per kapita stagnan, dan standar hidup masyarakat tidak bisa meningkat. Indikator penentu MIT dapat berubah setiap tahunnya. Hal itu terjadi mengikuti faktor inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun populasi yang memengaruhi nilai GNI (gross national income) per kapita setiap negara.
Adapun nilai GNI per 1 Juli 2021 untuk kategori negara dengan penghasilan per kapita tinggi berkisar USD 4.000–13.000. Dari nilai itu, dapat disimpulkan bahwa negara yang termasuk middle income memiliki nilai GNI di bawah angka tersebut.
Istilah MIT kali pertama digagas Bank Dunia (World Bank) pada 2007 dalam hasil laporannya yang bertema An East Asian Renaissance: Ideas for Economic Growth. Atau, situasi di mana negara dengan pendapatan menengah tidak dapat bersaing dalam produksi barang-barang berintensitas tenaga kerja rendah karena upah yang relatif tinggi, tetapi juga tidak dapat bersaing dalam kegiatan bernilai tambah tinggi karena produktivitas yang relatif rendah.
Itu mengakibatkan stagnasi ekonomi yang berkepanjangan dan kesulitan untuk mencapai status negara berpendapatan tinggi. Secara garis besar, negara yang terjebak middle income mengalami fenomena stagnasi dalam pendapatan kelas menengah dan belum mampu mencapai kelompok income yang baru lantaran beragam faktor.
Salah satu faktor penyebab adanya jebakan middle income adalah kurang kompetitifnya pada sektor industri manufaktur.
Hilangnya elemen kompetitif pada sektor manufaktur itu dianggap mengkhawatirkan jika dilihat dari segi ekonomi. Dalam beberapa dasawarsa, hanya sedikit negara berpendapatan menengah di kawasan Asia-Pasifik yang dapat melakukan transisi menuju negara berpendapatan tinggi, termasuk Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan.
Indonesia sendiri tengah melakukan akselerasi dan menargetkan untuk mencapai status negara berpenghasilan tinggi di tahun 2036–2038.
Secara harfiah, kelompok kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang tidak lagi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar dan hidup di atas garis kemiskinan, tetapi masih rentan terperosok jika sewaktu-waktu terjadi turbulensi yang mengganggu stabilitas ekonomi.
Bahkan, jika daya beli kelas menengah menurun, itu dapat memaksa mereka untuk berpindah ke calon kelas menengah atau rentan, sehingga mengurangi peran mereka sebagai kontributor pajak dan sebaliknya, meningkatkan ketergantungan mereka pada dukungan fiskal.
Dalam kurun sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stagnan di kisaran 5 persen per tahun. Tidak hanya stagnan, pertumbuhan ekonomi hanya berbasis hasil alam.
Di bidang industri, pemerintah memprioritaskan pembangunan peleburan mineral yang juga berbasis hasil alam. Hal tersebut berlangsung dengan mengabaikan perbaikan iklim investasi di industri pengolahan atau manufaktur yang lebih kuat yang seharusnya dapat mendorong penciptaan lapangan kerja dan perbaikan produktivitas.