Setitik Bakat

foto pixabay-foto pixabay-

“Sekali lagi Ayah ingatkan, tugas kamu itu hanya belajar, belajar, belajar, dan pastikan dapat peringkat terbaik! Itu baru membuat Ayah bangga. Bukannya menulis hal-hal yang tidak penting!” wajah Ayah merah padam menahan amarah yang semakin memuncak. Cahya meringkuk di meja belajar yang terletak di sudut kamarnya. Tubuhnya berkeringat dingin dan gemetar menahan rasa takut. Wajahnya tampak semakin memucat ketakutan.

“Menulis cerita tidak akan membuat kamu menjadi orang sukses, Cahya!” lanjut Ayah. 

Dengan tangan yang gemetaran, Cahya berusaha meraih potongan-potongan kertas, mengumpulkan setiap sobekan. Melihat Cahya mengumpulkan kertas yang baru saja disobeknya, Ayah terlihat semakin murka. 

“Cahya, kamu itu bisa nggak menuruti keinginan Ayah sekali saja?”

Tampaknya ayah sudah putus asa dan hilang kesabarannya menghadapi keteguhan anaknya. 

“Maafin Cahya, Yah.” 

Ayah meninggalkan Cahya dengan langkah kesal menahan marah dan kecewa. Terdengar suara pintu yang ditutup kasar membuat Cahya yakin kalau Ayahnya benar-benar marah.

“Cahya, kamu baik-baik saja kan, Nak?” 

Ibu berlari menuju ke arah anak gadisnya dengan rasa khawatir. Ia baru berani masuk kamar setelah suaminya pergi meninggalkan kamar Cahya. Ia sangat paham suaminya paling tidak suka jika ada yang menyela pembicaraanya. Apalagi ketika sedang marah. 

Begitu mendapati anak gadisnya tengah menangis, seketika ibu langsung mendekap Cahya dalam pelukannya.

“Maafkan Ibu yang tidak bisa membela kamu dari amarah Ayah,” Ibu mengelus lembut kepala anak perempuannya itu.

“Jangan dengarkan kata Ayah. Hidup ini milik kamu, hak kamu. Cahya bebas melakukan apa yang Cahya inginkan, asal itu positif. Ibu akan selalu mendukungmu,” ujarnya coba menguatkan dan memberikan semangat kepada Cahya. Mendapat dukungan penuh dari ibunya, Cahya duduk terdiam. Jauh di lubuk hatinya, ia masih sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan karena menurunkan malaikat ke bumi ini dalam wujud sang ibu. Jika bukan karena dukungan sang ibu selama ini, mungkin ia sudah putus asa dan kabur meninggalkan rumah. Ibunyalah satu-satunya alasan Cahya terus bertahan dengan pilihannya menggeluti dunia tulis-menulis.

***

Tidak seperti biasanya, Cahya yang selalu bersemangat mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia yang diasuh oleh Bu Putri, pagi ini ia sedikit murung. Bahkan, ketika teman-temannya bersemangat menyambut kehadiran Bu Putri di kelas. 

“Anak-anak, selamat pagi.” 

Tag
Share