Setitik Bakat
foto pixabay-foto pixabay-
Sejak peristiwa hari itu, Cahya tidak masuk sekolah. Bahkan, sudah lima hari lamanya. Bu Putri merasa khawatir, takut terjadi apa-apa dengan murid itu. Sebuah suara menyadarkan Bu Putri dari lamunannya.
“Ada wali murid yang mencari Bu Putri,” ucap Ibu Eti, guru agama.
“Terima kasih banyak, Bu, atas informasinya,” Bu Putri langsung pergi menuju meja tamu.
Langkah Bu Putri semakin cepat ketika tahu bahwa yang ingin menemui dirinya adalah ibu Cahya beserta anaknya.
“Saya tidak bisa berlama-lama, Bu Putri. Cahya tidak boleh keluar dari kamarnya selama lima hari, jadi saya membawa Cahya kabur. Saya minta tolong untuk menjaga anak saya selama berjauhan dengan saya,” Ibu mengelus kepala, lalu mencium kening anaknya dengan lembut.
“Ingat pesan Ibu, hidup ini milik kamu, hak kamu, keputusan dalam hidup semuannya harus kamu yang memutuskan sendiri. Ada beberapa larangan yang memang harus kita langgar untuk mengetahui kemampuan kita. Contohnya, melanggar larangan ayah. Bawalah kemenangan untuk membuktikan kepada ayah bahwa kamu punya keputusan sendiri,” Cahya mengangguk.
***
Bu Putri membawa Cahya menuju ke rumahnya.
“Anggap saja rumah sendiri. Kamu tidak usah malu-malu,” Bu Putri datang sembari membawa laptop dan beberapa alat pendukungnya. Cahya pun duduk manis di sebuah sofa.
“Kamu bisa menggunakan laptop Ibu untuk menulis. Waktu kumpulnya dua hari lagi, tapi ibu yakin kamu akan cepat menyelesaikannya.”
“Bagaimana jika aku tidak bisa menyelesaikannya?”
“Kunci sebuah keberhasilan adalah tekad yang kuat. Kamu akan bisa menyelesaikannya jika memiliki tekad yang kuat untuk menyelesaikannya.”
Waktu berlalu begitu cepat. Langit yang semula jingga berubah menjadi hitam dengan bintang-bintang sebagai hiasannya. Helaan napas lega terdengar. Cerpen buatan Cahya akhirnya selesai juga dengan judul “Setitik Bakat”.
“Kita akan kirimkan ini sekarang,” ucap Bu Putri.
“Bagaimana jika kita kalah?”