Untaian Asa
-Ilustrasi Freepik-
Sebelum pulang, aku sempatkan untuk merapikan kamar tempatku menyetrika. Keranjang baju yang berserakan aku tumpuk menjadi satu. Alas untuk menyetrika aku lipat rapi lalu aku menyapu kamar itu agar bersih. Setelah semuanya beres, aku berencana berpamitan sebelum pulang. Pada saat itu, si kecil Nina, anak Mbak Siska sedang menangis kencang. Aku lihat Mbak Siska kewalahan menangani anak cantik yang sangat aktif itu.
Tergerak hatiku untuk menghibur Nina. Aku ingat Cika ketika sedang rewel sulit sekali untuk diam. Namun, Cika akan langsung berhenti menangis ketika melihatku asyik memainkan sesuatu sendirian. Aku ambil beberapa boneka kecil milik Nina. Lalu, aku jajar rapi di atas sofa. Aku berpura-pura menjadi ibu yang sedang menyuapi anaknya.
“Ayo, anak manis makan dulu, ya. Wah, pintar sekali. Setelah ini kita mau main apa?” ucapku pada boneka kelinci berwarna putih.
Seketika tangis Nina langsung berhenti. Aku tahu dia memperhatikanku, tetapi aku tetap melanjutkan permainanku. Ternyata, Nina tertarik dan mendekatiku. Dia pun ikut bermain boneka bersamaku. Sejak saat itu, Nina menjadi dekat denganku.
Sudah dua tahun aku bekerja di rumah Mbak Siska. Aku menjadi semakin akrab dengan Mbak Siska dan keluarganya. Terkadang, Mbak Siska juga sering curhat padaku. Aku pun sering membagikan cerita dan harapan-harapanku padanya. Siapa sangka jika Mbak Siska dan suaminya ternyata berencana membiayai pendidikanku.
Katanya, aku anak yang ulet, jujur, dan pintar. Sayang sekali kalau sampai tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Mendengar kabar itu, rasanya seperti mimpi. Bisa melanjutkan kuliah seakan menjadi hal yang tidak akan mungkin terjadi dalam hidupku. Aku peluk Mbak Siska kuat-kuat. Aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kaesih kepadanya.
Melihat aku menangis, Nina langsung ikut memelukku. Anak itu seakan tahu jika aku akan pergi jauh. Dia seperti tidak mengizinkanku pergi. Mbak Siska tertawa melihat tingkah anaknya.
Aku menatap langit-langit kamar kos dengan senyum merekah sembari menyematkan banyak rasa syukur kepada Tuhan atas segala riuh masalah dalam hidupku yang akhirnya digantikan dengan sejuta kasih. Semesta akhirnya memberikan izin kepadaku untuk meraih impianku menjadi dokter anak. Hadirnya keluarga Mbak Siska dalam hidupku seakan telah Tuhan siapkan di ujung penderitaanku. Sekarang, aku resmi menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Meski bertahun-tahun hidup dalam kepedihan, tak sedikit pun dendam bersemayam dalam hatiku. Di kota ini, bapakku tinggal bersama keluarga barunya. Aku pun berusaha menemukan tempat tinggalnya.
“Ini, kamu, Rin? Anak bapak?” Tanya bapak tidak yakin.
“Iya, Pak. Bapak apa kabar?”
“Bapak, seperti inilah. Kamu kenapa mencari Bapak?”
Mendengar pertanyaan bapak, aku tersenyum.