Untaian Asa
-Ilustrasi Freepik-
“Betul. Kali ini ke Pantai Mutun,” ucap bapak sambil menyeruput kopi hitam pahit kesukaannya.
Bapakku bekerja sebagai sopir bus pariwisata. Jadi, kalau ada orang yang menyewa, sudah dipastikan kursi di samping kemudi bapak disiapkan untuk tempat dudukku dengan Cika.
“Yei! Sate ayam sudah habis, Arin sudah sehat!” sorakku dengan riang sambil meletakkan piring bekas makanku.
“Dasar! Sana tidur lagi, biar besok sehat. Bisa ikut tamasya.”
“Siap, laksanakan!”
Aku beranjak dari dapur meninggalkan bapak sendirian. Aku sangat gembira membayangkan betapa serunya main di pantai. Rasanya, aku sudah tak sabar menunggu sampai besok. Sebelum tidur, kusiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk besok. Dari pakaian dan beberapa perlengakapan untukku dan untuk Cika.
Segera kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur dengan seprai bergambar boneka barbie kesukaanku. Kuucap doa lalu aku pejamkan mata perlahan. Aku pun terhanyut dalam mimpi tidur malamku.
Keesokan harinya, badanku terasa lebih baik. Pusing di kepalaku sudah hilang. Hanya saja masih sedikit pilek. Tak apalah, hal itu tak akan menghalangiku untuk ikut tamasya.
Segera kulipat selimut kumal yang melindungi tubuhku dari sapaan angin yang masuk melalui lubang-lubang kecil jendela kayu yang sudah rapuh dimakan rayap. Aku melihat ke sekeliling kamarku. Oh, Tuhan! Ini bukan kamarku yang dulu. Bapak? Sate Ayam? Pantai? Semua itu hanya mimpi.
Segera kuusap bulir air yang berlomba keluar dari mataku. Aku menangis, kala menyadari mimpi kehidupanku yang lalu. Saat ini pukul tiga pagi. Kulangkahkan kaki menuju dapur. Kulihat Ibu tengah membuat kopi agar terjaga dari kantuk.
“Sudah bangun, Nduk? Tolong minyaknya dipanaskan dulu, ya!” pinta Iibu.
Aku mengangguk dan mulai mengisi wajan besar dengan minyak. Beginilah rutinitasku saat ini semenjak mendengar kabar bapak menikah lagi dua tahun lalu disusul dengan berita rumah peninggalan bapak yang ternyata sudah dijual. Aku memutuskan untuk tidak kuliah dan membantu Iibu berjualan aneka jajanan pasar.
Setiap pukul tiga pagi, aku harus bangun membantu ibu membuat kue goreng atau memasukkan jajanan, seperti dadar gulung, kue lapis, risol ke dalam plastik kecil. Sama sekali tak ada rasa lelah kala melihat Iibu masih terus semangat melukiskan cerita hidup.
Dengan menggendong Cika, ibu menuntun sepeda dengan keranjang di kanan dan kirinya. Keranjang itu berisi aneka makanan jajanan pasar yang akan kami jual. Di belakang Ibu, aku juga membawa sepeda. Tugasku membawa alas untuk duduk dan bekal untuk sarapan Cika. Embusan angin subuh begitu menusuk tulangku. Aku melihat ke arah Cika yang masih terlelap digendongan ibu. Aku khawatir dia kedinginan.