Untaian Asa
-Ilustrasi Freepik-
Setiap dini hari, aku dan ibu melawan rasa malas dan kantuk dan terus berjalan menyusuri jalanan gelap dan sepi menuju pasar.
“Bu, tadi pagi waktu aku pulang dari pasar, Mbak Siska, anak Pak Lurah, datang ke sini, lo,” ujarku membuka pembicaraan.
“Ha? Ada apa, Nduk? Jangan-jangan mau kasih bedah rumah, Nduk,” ucap ibu penuh harap.
“Bukan, Bu. Bukan mau kasih bedah rumah, tapi mau kasih aku kerjaan,” jawabku cepat.
“Kerjaan apa?” tanya ibu penasaran.
“Mbak Siska menawari aku kerja di rumahnya untuk menyetrika pakaian, Bu,” jelasku ragu. Aku khawatir ibu tidak setuju.
“Nyetrika itu pekerjaan berat, lo, Nduk. Apa lagi keluarga Mbak Siska itu keluarga terpandang, suka ada acara keluar. Bajunya juga pasti banyak.”
“Tidak apa-apa, Bu. Arin mau coba. Upahnya lumayan, Bu, bisa untuk tambah-tambah membeli kebutuhuan sehari-hari kita,” jelasku meyakinkan ibu sambil terus memijat kakinya.
“Tapi, ibu tetap tidak tega melihat kamu bekerja, Nduk.”
“Ibu jangan khawatir. Kita lihat dulu beberapa hari, ya, Bu. Nanti kalau tidak sanggup karena terlalu lelah, Arin akan megundurkan diri ke Mbak Siska.” ucapku berusaha meyakinkan ibu. Ibu akhirnya menyetujui pendapatku.
Keesokan harinya, aku berangkat bekerja ke rumah Mbak Siska setelah selesai membantu ibu menyiapkan dagangannya. Kurajut asaku dari pekerjaan kecil ini. Kupandangi tumpukan pakaian yang menggunung di atas keranjang.
“Wah, banyak sekali,” batinku.
Aku mulai pekerjaanku dari memilah pakaian. Pakaian anak-anak dan dewasa aku pisah. Lalu, pakaian kerja dan pakaian biasa pun aku sendirikan. Menurutku, ini bagian penting karena untuk pakaian kerja tentu tidak boleh sembarangan menyetrikanya. Kemudian, barulah aku balik semua pakaian agar mudah disetrika.