JAKARTA - Asosiasi konsumen menilai sejumlah larangan terhadap produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana Undang-undang (UU) Kesehatan membahayakan produk keretek dan para pedagang kecil. Atas dasar itu, dibandingkan membuat aturan baru, pemerintah diminta memperkuat implementasi regulasi yang sudah berlaku.
Juru Bicara Komunitas Keretek, Siti Fatona, mengatakan draf RPP Kesehatan, khususnya pasal pertembakauan, akan sangat berbahaya jika disahkan. ’’Ada beberapa pasal, yang utamanya, akan mengancam hajat hidup orang banyak, terutama pihak-pihak yang menggantungkan hidupnya di rokok (produk tembakau),” katanya dalam keterangan, Senin (6/11). Salah satu hal yang paling signifikan menurutnya adalah ancaman kematian terhadap kelestarian kretek sebagai produk khas dan warisan budaya bangsa Indonesia. Ancaman tersebut, salah satunya, tecermin pada pasal yang mewajibkan bahwa isi dalam setiap bungkus rokok minimal harus 20 batang. “Jika semua produk tembakau dipaksakan harus berisi 20 batang, maka industri kretek nasional yang akan dirugikan,” jelasnya. Padahal, industri keretek adalah sektor padat karya yang melibatkan banyak tenaga kerja mulai dari petani tembakau dan cengkeh hingga para pekerja dan pedagang. Sejumlah larangan pada pasal pertembakauan RPP Kesehatan, diyakini Siti, akan semakin menggerus produksi rokok kretek, sebab akan terjadi pengurangan daya beli oleh konsumen. Akibatnya, industri kretek akan berangsur mati dan berdampak seluruh tenaga kerja yang ada di dalamnya. Lagi pula, lanjut Siti, aturan ini tidak akan berlangsung secara efektif. Konsumen hanya akan beralih ke rokok yang lebih murah yaitu rokok ilegal. “Melarang rokok eceran dapat menimbulkan peredaran rokok ilegal (menjadi) semakin besar. Itu disebabkan dari sulitnya akses perokok untuk membeli rokok secara eceran,” terangnya. Maka dari itu, pihaknya menyarankan kepada pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan (Kemenkes), untuk fokus pada hal yang lebih prioritas untuk isu kesehatan. ”Fokus saja dengan permasalahan utama di kesehatan, seperti sulitnya akses kesehatan di daerah-daerah terpencil,” sarannya. Adapun teknis pengaturan produk tembakau diminta dikembalikan ke peraturan yang sudah berlaku yang dinilai sudah sangat komprehensif, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012. “Sebaiknya hapus saja pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan dan kerjakan aturan yang sudah berlaku dalam PP 109/2012,” tutupnya. Pada kesempatan berbeda, Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga, Gitadi Tegas Supramudyo, menjelaskan bahwa RPP Kesehatan tidak bisa hanya dirancang berdasarkan idealisme yang seolah sempurna, tanpa memperhatikan kenyataan di masyarakat. “Khusus terkait produk tembakau, pemerintah, sepertinya mengesampingkan itu adalah sumber dari pendapatan negara melalui cukai. Siapkah negara dengan realitas masyarakat yang mata pencahariannya (akan) berkurang?” tanyanya. Ia melanjutkan, dengan kondisi saat ini, tantangan terhadap produk tembakau sudah nyata, yakni meningkatnya rokok ilegal. “Rokok ilegal ini akan semakin berkembang jika segala larangan (aturan produk tembakau) dalam RPP Kesehatan diterapkan,” pungkas Gitadi. (jpc/c1/fik)
Kategori :