JAKARTA - Target produksi minyak dan gas (migas) atau lifting migas pada tahun 2023 jauh di bawah target APBN 2023. Pencapaian itu mendapat sorotan dari Komisi VII DPR.
Anggota Komisi VII DPR RI Yulian Gunhar menyebut salah satu pemicu tidak tercapainya target itu karena revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas masih terhambat. “Sejak awal kami mendorong revisi Undang-Undang Migas untuk mendongkrak lifting minyak dan gas di dalam negeri, sehingga mencapai target APBN. Untuk minyak, bahkan bisa mencapai target 1 juta barel per hari pada 2030,” kata Yulian Gunhar kepada JawaPos.com, Jumat (15/3).
Menurut Gunhar, payung hukum Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) hingga kini belum jelas. Hal itu turut mempersulit para investor atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas dalam membangun dan mengembangkan industri hulu migas.
Gunhar menegaskan revisi UU Migas adalah hal yang sangat urgent. Dengan revisi UU Migas, maka SKK Migas menjadi badan usaha khusus. “Dengan menjadi badan khusus, maka SKK Migas akan memiliki kewenangan yang lebih jelas dan kedudukan lebih kuat dalam menentukan sikap dan kebijakan strategis terkait investasi di bidang migas,” katanya.
Politisi PDI Perjuangan itu merasa heran masih berlarut-larutnya revisi UU Migas. Padahal sudah sekitar 10 tahun isu revisi tersebut berjalan. Pada awal pemerintahan, Presiden Jokowi juga sangat getol memerangi mafia dan meningkatkan produksi migas.
BACA JUGA:BPS Catat Impor RI Naik 15,84 Persen Pada Februari 2024
“Dengan tidak tercapainya target lifting minyak, maka untuk memenuhi kebutuhan minyak, kita harus impor. Ini sama saja dengan memberi ruang bermainnya mafia minyak. Jadi siapa di balik tertundanya Revisi UU migas ini?” tandasnya.
Berdasarkan laporan SKK Migas, diketahui realisasi lifting minyak bumi hingga akhir 2023 hanya mencapai 605.500 barel per hari, dari target APBN 2023 sebesar 660.000 barel per hari. Sementara itu, lifting gas bumi 2023 mencapai 960 MBOEPD. Masih di bawah target APBN sebesar 1,1 juta MBOEPD. (jpc/c1/nca)