JAKARTA - Fenomena skema cicilan pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) via pinjaman online (pinjol) mendapat kritik banyak pihak. Pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai masalah itu membuka tabir masih buruknya akses pendidikan tinggi.
Menurut Doni, masalah mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT bukan hanya soal teknik mencari uang pembiayaan. Apakah menggunakan pinjol atau lainnya. Bagi Doni, ketika ada mahasiswa tidak bisa membayar UKT, ada yang salah dengan kebijakan mengenai akses pendidikan tinggi.
’’Tentu Mendikbudristek Nadiem Makarim harus tanggung jawab nih kalau ada mahasiswa nggak bisa kuliah, terus ditawari pinjol. Itu nggak bener,” ujarnya.
BACA JUGA:Kemenag RI Kumpulkan Mudir Ma’had Aly Se-Indonesia, Bahas Apa?
Doni menolak tegas kebijakan penawaran pinjol dan lainnya dalam pembayaran UKT. Menurut Doni, kebijakan tersebut seolah mereduksi persoalan mengenai akses pendidikan tinggi di Indonesia yang masih belum inklusif. Seharusnya, kata Doni, rektor atau kampus tidak serta-merta membuat kebijakan sendiri mengenai akses pendidikan tinggi. Kebijakan itu sebaiknya dikomunikasikan dengan Kemendikbudristek.
Pihak kampus dan Kemendikbudristek, kata Doni, dapat melakukan dialog mengenai kondisi di lapangan. ’’Lalu, bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengenai adanya mekanisme pembiayaan lain. Misalnya, student loan yang dibiayai dengan dana-dana Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Bisa juga dari jatah anggaran pembiayaan LPDP dari APBN yang direncanakan dialihkan. Mengingat, hingga kini dana Rp20 triliun itu belum jelas peruntukannya.
BACA JUGA:Amuse XIV SMA Al Kautsar, 3.089 Pelajar Ikut 29 Cabang Lomba
Terpisah, ratusan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) mendatangi Gedung Rektorat. Mereka mendesak kampus untuk menolak kerja sama dengan aplikasi pinjol. Atusan mahasiswa melakukan longmars dari Taman Ganesha menuju Rektorat ITB. Sejumlah perwakilan mahasiswa mencoba bernegosiasi untuk bisa masuk dan bertemu rektor ITB.
Adu mulut pun sempat terjadi lantaran petugas keamanan melarang mereka masuk. Mahasiswa yang kesal kemudian melanjutkan aksinya dengan duduk di sisi jalan sembari menyampaikan aspirasi. Mereka meminta pihak rektorat keluar dan menemui massa.
Di sela-sela demonstrasi itu, ada beberapa mahasiswa yang menyuarakan kekesalannya. Mereka adalah mahasiswa yang belum bisa membayar UKT. ’’Ayah saya baru lepas status pengangguran itu tahun lalu. Jadi, uangnya belum cukup untuk bayar UKT. Kemarin sempat jual motor dan lainnya,’’ kata Dewi, mahasiswi ITB.
BACA JUGA:Itera Berharap Inovasi Teknologi Dikembangkan di Daerah, Ini Respons Kemendagri!
Dewi mengaku sering mengajukan keringanan UKT. Berbagai syarat telah dipenuhi. Namun, hingga beberapa kali pengajuan, dia tak pernah mendapat penurunan UKT. Setiap harus membayar UKT, dia terpaksa mencicil hingga tiga kali.
Dewi sempat ditawari ikut pembiayaan lewat aplikasi Danacita. Namun, Dewi menolak. Dia tak ingin terjerat pinjol dalam bentuk apa pun untuk perkuliahan di ITB. Menurutnya, kampus sebesar ITB seharusnya bisa membantu mahasiswa dengan cara yang benar, tidak lewat aplikasi pinjol berbunga besar.
BACA JUGA:Tingkatkan Kualitas Bahasa Indonesia Mahasiswa Asing, Ini yang Dilakukan UPT Bahasa Unila!
’’Saya kesal karena banyak fasilitas juga yang dibangun, padahal belum terlalu penting. Seharusnya uang yang ada diperbantukan dulu ke mahasiswa yang membutuhkan,’’ ucap Dewi.