Saatnya Rektor Bertransformasi: Dari Menara Gading ke Pemberdayaan

Jumat 15 Aug 2025 - 22:00 WIB
Reporter : Agung Budiarto
Editor : Agung Budiarto

Oleh Ulul Albab adalah ketua ICMI Orwil Jawa Timur.

DI tengah berbagai sorotan terhadap mutu lulusan perguruan tinggi di Indonesia, muncul satu kisah yang menyegarkan dan memantik harapan. Alim Anggono, 26 tahun, resmi dinobatkan sebagai Rektor Termuda Indonesia oleh Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri). 

Ia memimpin Universitas Cakrawala dengan visi sederhana, tetai radikal. Yaitu, memastikan setiap lulusan career-ready, siap terjun dan bersaing di dunia industri sejak hari pertama wisuda.

Kisah Alim itu jangan dijadikan berita ”unik” atau ”fenomenal”. Namun, mari kita jadikan sebagai momentum untuk membangunkan seluruh pimpinan perguruan tinggi di tanah air dari tidur panjangnya. 

Kita semua perlu menyadari bahwa lulusan kita yang cerdas dan pekerja keras masih banyak yang tersandung di pintu masuk dunia kerja. Bukan karena kurang semangat, melainkan karena kurikulum, metode pengajaran, dan sistem kampus gagal menjembatani kesenjangan antara dunia akademik dan realitas industri.

Sudah terlalu lama sebagian perguruan tinggi kita berfungsi bak pabrik yang memproduksi ijazah massal. Gelar diserahkan, foto dan konten video wisuda diambil, tetapi kompetensi yang dibutuhkan pasar masih absen, masih ”kosong”. 

Padahal, tanggung jawab moral dan strategis seorang rektor adalah menyiapkan anak-anak bangsa untuk menjadi pelaku dan pemimpin perubahan. Tidak sekadar menjaga nama baik almamater atau membangun monumen fisik.

Kisah Universitas Cakrawala menunjukkan bahwa transformasi itu mungkin. Bahkan, sangat-sangat mungkin. 

Dengan biaya terjangkau, kurikulum terintegrasi magang, kemitraan dengan ratusan industri, dan pembukaan jurusan-jurusan masa depan seperti artificial intelligence serta kendaraan listrik, mereka membuktikan bahwa pendidikan relevan tidak harus mahal.

Seorang rektor adalah arsitek, bukan penjaga gerbang. Ia harus membangun jembatan antara kampus dan ekosistem industri, dunia penelitian, serta masyarakat luas. 

Itu berarti, rektor harus, pertama, mendesain ulang kurikulum agar berbasis kompetensi dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.

Kedua, mewajibkan pengalaman industri bagi mahasiswa, wajib, sekali lagi wajib, bukan pilihan. 

Ketiga, menggandeng mitra strategis di dalam dan luar negeri untuk membuka akses peluang karier. 

Keempat, memastikan inklusivitas. Sebab, pendidikan bermutu harus bisa diakses semua kalangan.

Momentum ini harus dimaknai sebagai ajakan bagi seluruh rektor di Indonesia untuk menanggalkan mentalitas ”zona nyaman jabatan” dan menggantinya dengan mentalitas ”pengabdi visi”. 

Kategori :