DPR: Reformasi Polri Harus Utamakan HAM

Sebanyak 27 perwira tinggi (Pati) Polri resmi naik pangkat dalam upacara kenaikan pangkat ke dan dalam golongan Pati Polri yang digelar secara khidmat di Rupatama Mabes Polri, Senin (6/10) malam.-FOTO ISTIMEWA -

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira menyambut positif langkah Presiden Prabowo Subianto yang akan melantik Komite Reformasi Polri.
Namun, ia menegaskan bahwa reformasi institusi kepolisian harus difokuskan pada perlindungan hak asasi manusia (HAM), transparansi, dan akuntabilitas publik.
“Reformasi Polri bukan sekadar restrukturisasi birokrasi, tapi perubahan mendasar pada tata kelola dan budaya organisasi. Ini harus memastikan bahwa hak-hak warga negara, terutama kelompok rentan, terlindungi secara nyata,” ujar Andreas  di Jakarta, Selasa 7 Oktober 2025.
Komite Reformasi Polri: Langkah Awal Presiden Prabowo
Diketahui, Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan akan melantik Komite Reformasi Polri pada pekan ini. Komite tersebut akan terdiri dari 9 tokoh independen, salah satunya Mahfud MD, mantan Menko Polhukam.
Informasi ini disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, meski ia belum mengungkap seluruh nama anggota komite.
Komite ini disebut memiliki semangat yang sejalan dengan Tim Transformasi Reformasi Polri yang sebelumnya telah dibentuk secara internal dan beranggotakan 52 perwira aktif kepolisian.
Namun, Andreas menyoroti potensi masalah dari dua entitas reformasi ini. “Kehadiran perwira aktif dalam tim reformasi berpotensi menimbulkan bias dan mengurangi efektivitas reformasi serta perlindungan hak publik,” tegasnya.
Andreas menyambut baik keterlibatan tokoh-tokoh independen seperti Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, dan Jimly Asshiddiqie dalam Komite Reformasi Polri.
Menurutnya, tokoh-tokoh ini dapat memperkuat kontrol eksternal terhadap kepolisian, yang selama ini dinilai masih minim.
“Terutama dalam meninjau praktik operasional dan kebijakan internal yang berdampak pada hak-hak warga negara,” kata Andreas.
Ia juga menegaskan pentingnya penghapusan budaya kekerasan, dominasi dalam penyidikan, serta perbaikan sistem check and balances di tubuh Polri.
Menurut Andreas, keberhasilan reformasi Polri tidak boleh hanya diukur dari laporan atau simbolisasi politik semata.
“Transparansi dan akuntabilitas publik harus jadi fondasi utama dalam reformasi ini. Publik berhak tahu bagaimana mekanisme pengawasan dan penindakan pelanggaran anggota Polri berjalan,” ungkapnya.
Lebih jauh, ia menyerukan pentingnya profesionalisme kepolisian dan menjauhkan institusi ini dari praktik politik dan militeristik.
“Kami mengingatkan pentingnya Polri terlepas dari praktik politik dan militeristik agar dapat benar-benar melayani masyarakat secara profesional,” jelasnya.
Andreas menegaskan bahwa Komite Reformasi Polri harus menjadi lembaga independen yang tidak hanya simbolik, tetapi memiliki peran nyata dalam menjaga demokrasi dan hukum.
“Keberhasilan reformasi akan diukur dari perlindungan hak asasi manusia, kepastian hukum, dan kepercayaan masyarakat, bukan sekadar laporan formal atau retorika politik semata,” pungkasnya. (disway/c1/yud)

Tag
Share