Pembahasan RUU Pemilu Dimulai 2026
Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin. -FOTO DOK GOLKARPEDIA/ISTIMEWA -
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse mengungkapkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu mulai dilakukan pada 2026, setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR memutuskan RUU tersebut masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026.
Menurut Zulfikar, Komisi II DPR akan menjadi pihak yang menginisiasi pembahasan tersebut. Dengan jadwal dimulai pada 2026, DPR memiliki waktu yang cukup panjang untuk menyusun dan memperdalam substansi perubahan UU Pemilu.
“Kita akan bisa lebih fokus, kita akan bisa memperbincangkan secara lebih mendalam soal perubahan undang-undang pemilu tersebut,” ujar Zulfikar di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Zulfikar menjelaskan, Komisi II DPR memiliki semangat untuk menggabungkan revisi UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik ke dalam satu payung hukum. Langkah ini sejalan dengan metode kodifikasi, sebagaimana direkomendasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
“Kalau memang kita melakukan perubahan Undang-Undang Pemilu, metode yang direkomendasikan itu adalah kodifikasi,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya menegaskan Pemilu dan Pilkada merupakan satu kesatuan rezim hukum. Karena itu, revisi yang dilakukan sebaiknya mencakup seluruh undang-undang terkait penyelenggaraan pemilihan.
Sebelumnya, RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diusulkan oleh Komisi II DPR untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2026.
Dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025, RUU Pemilu sebenarnya sempat menjadi usulan Baleg DPR. Namun, kini daftar prioritas untuk tahun 2026 telah disetujui oleh Baleg.
Ketua Baleg DPR, Bob Hasan mengatakan keputusan untuk menjadwalkan pembahasan pada 2026 dilakukan agar prosesnya bisa berjalan komprehensif.
“Takutnya nanti belum selesai atau tidak maksimal kalau dibahas sekarang. Jadi, semuanya kita luncurkan di 2026,” kata Bob Hasan di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (18/9/2025).
Dengan dimulainya pembahasan pada 2026, DPR diharapkan dapat menghasilkan regulasi yang lebih komprehensif dan sinkron antara sistem Pemilu, Pilkada, serta partai politik, menjelang pelaksanaan Pemilu serentak berikutnya.
Diketahui, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memisahkan pemilu nasional dan daerah menimbulkan masalah baru, salah satunya soal jabatan anggota DPR.
Meski demikian, Yusril mengatakan pemerintah akan tetap menindaklanjuti putusan tersebut karena sifatnya sudah final dan mengikat.
“MK itu putusannya final and binding (mengikat). Jadi walaupun pemerintah punya pikiran sendiri bagaimana menyelenggarakan pemilu yang adil dan proporsional bagi semua pihak,” kata Yusril di kantor Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Jakarta Pusat, Rabu (2/6/2025).
Menurutnya, pemerintah sebagai pelaksana di lapangan tetap akan mendukung secara mutlak KPU dalam menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil (jurdil).
“Sekarang sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang membagi pemilu nasional dan daerah, kami ada beban kerja baru lagi,” ujar Yusril
Yusril mengatakan sebelumnya MK sudah memutuskan pemilu tanpa threshold atau ambang batas presidan dan parlemen mulai 2029, namun pemerintah belum selesai merumuskan Undang-Undang Pemilu.
“Sekarang sudah muncul lagi putusan yang baru (memisahkan pemilu nasional dan daerah),” ujarnya.
Yusril mengatakan mau tidak mau, pemerintah dan DPR harus merumuskan kembali Undang-Undang Pemilu, termasuk sejumlah masalah baru yang timbul, seperti masa jabatan anggota DPRD. Apabila pemilu daerah terjeda 2 sampai 2,5 tahun, bagaimana dengan DPRD yang habis masa jabatannya.
Menurutnya, kalau kepala daerah bisa saja ditunjuk penjabat sementara selama 2,5 tahun. Tetapi itu sulit dilakukan untuk mengisi kekosongan DPRD karena jumlahnya sangat banyak dan mereka dipilih langsung oleh rakyat.
“Apakah bisa (masa jabatan) anggota DPRD itu diperpanjang? Apakah tidak against constitutional (melawan konstitusi) itu sendiri? Karena anggota DPRD dipilih langsung oleh rakyat? Atas dasar kuasa apa kita memperpanjang (masa jabatan) mereka untuk 2 sampai 2,5 tahun? Apakah dibentuk DPRD sementara atau bagaimana?” kata Yusril.
Menurutnya, masalah-masalah seperti itu masih perlu didiskusikan bersama supaya tidak menabrak konstitusi.
Sebelumnya pada Kamis (26/6/2025), MK memutuskan memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun.
Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Sedangkan pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah. (beritasatu/c1/yud)