“Kunci penting bagi kegiatan bisnis di sektor komoditas adalah melakukan efisiensi untuk mempertahankan margin keuntungan,” bebernya.
Sektor industri pengolahan yang berorientasi ekspor masih terus mendapat tekanan akibat pelemahan ekonomi global.
Industri yang berorientasi pasar domestik, seperti, industri alat angkut, kimia dan farmasi, serta makanan-minuman masih relatif prospektif. Memanfaatkan resilience dari permintaan domestik.
Industri yang terkait hilirisasi yaitu industri pengolahan logam dasar masih tumbuh tinggi.
Walaupun masih terdeselerasi lantaran penurunan harga-harga komoditas.
BACA JUGA:Masyarakat Wajib Hati-Hati, Sebar Hoaks Bisa Kena Denda Rp 1 Miliar
“LMeski di tengah gejolak sektor komoditas yang revenue turun, tapi terjadi resiliensi konsumsi di Indonesia,” imbuhnya.
Ke depan, Indonesia masih akan menghadapi berbagai risiko ekonomi global. Suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed) nampaknya sudah mencapai puncaknya.
Namun timing untuk penurunan masih belum pasti.
Di sisi lain perlambatan ekonomi Tiongkok masih akan menjadi risiko bagi perekonomian Indonesia.
Mengingat Tiongkok adalah salah satu mitra dagang dan mitra investasi yang utama bagi Indonesia.
Namun demikian, jika The Fed menurunkan suku bunganya lebih cepat, sentimen global akan membaik dan potensi kembalinya aliran dana asing ke depan semakin terbuka.
Dengan demikian, Bank Indonesia (BI) memiliki peluang untuk menurunkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bps) tahun depan.
“Penurunan suku bunga akan berimbas positif pada perekonomian. Proyeksi Bank Mandiri, ekonomi Indonesia masih akan mencatat pertumbuhan yang sehat 5,04 persen sepanjang 2023 dan 5,02 persen secara tahunan. Sedangkan di sepanjang 2024 akan tumbuh 5,06 persen.
BACA JUGA:Gaji Pekerja di Indonesia Rata-Rata Naik 6,5 Persen Tahun Depan
“Konsumsi dan aktivitas masyarakat domestik diperkirakan akan tetap solid, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga tahun depan,” jelas Asmo.