Diketahui Bank Indonesia (BI) telah merealisasikan pembelian surat berharga negara (SBN) senilai Rp144,9 triliun hingga 15 Juli 2025.
Angka ini terdiri atas pembelian SBN di pasar sekunder sebesar Rp102,58 triliun dan pembelian di pasar primer dalam bentuk surat perbendaharaan negara (SPN), termasuk instrumen syariah, sebesar Rp42,32 triliun.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, langkah pembelian SBN ini merupakan bagian dari strategi memperkuat ekspansi likuiditas kebijakan moneter dan bentuk sinergi antara kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal pemerintah.
“BI melakukan pembelian SBN dari pasar sekunder untuk memperkuat ekspansi likuiditas kebijakan moneter, sekaligus mencerminkan sinergi erat antara kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal pemerintah,” ucap Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang digelar secara virtual, Rabu (16/7).
Selain itu, pembelian SBN juga dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah serta memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan. BI mencatat imbal hasil SBN tenor 2 tahun turun dari 6,13% menjadi 5,86%, sedangkan tenor 10 tahun menurun dari 6,71% menjadi 6,56%.
“Bank Indonesia terus memperkuat respons kebijakan stabilisasi, termasuk intervensi terukur di pasar off-shore NDF dan strategi triple intervention pada transaksi spot, DNDF, dan SBN di pasar sekunder,” tutur Perry.
Dari sisi arus modal asing, pada awal kuartal III 2025 (hingga 14 Juli 2025), tercatat net inflows sebesar US$ 900 juta di pasar SBN. Angka ini melanjutkan tren positif dari kuartal II 2025 yang mencatat net inflows senilai USD1,6 miliar.
Untuk menjaga stabilitas arus modal dan memperkuat pasar keuangan domestik, BI juga mengandalkan tiga instrumen lain, yaitu Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).
Hingga 14 Juli 2025, total posisi instrumen SRBI tercatat sebesar Rp782,62 triliun. Sementara itu, posisi SVBI dan SUVBI masing-masing mencapai USD3,53 miliar dan USD491 juta.
Analis mata uang sekaligus Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi menilai pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah dipengaruhi peningkatan ketidakpastian kebijakan tarif Amerika Serikat (AS).
“Meningkatnya ketidakpastian tarif AS terus trending di kalangan para investor, setelah Wall Street Journal (WSJ) melaporkan pada hari Minggu (20/7) bahwa Uni Eropa (UE) sedang mempersiapkan tindakan balasan atas tarif perdagangan Presiden AS Donald Trump,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Tindakan balasan dari UE merupakan tanggapan atas tuntutan pejabat AS yang merasa permintaan untuk kesepakatan perdagangan, sekaligus menerapkan tarif dasar sebesar 15 persen.
Dalam waktu dekat, yakni 1 Agustus, AS disebut akan segera memberlakukan tarif antara 20-50 persen terhadap sejumlah negara. Hal ini membuat investor bersikap hati-hati.
Selain itu, Presiden AS Donald Trump juga mengancam bakal memberikan sanksi kepada pembeli ekspor Rusia kecuali Moskow menyetujui kesepakatan damai dengan Ukraina dalam 50 hari.
Di Asia, sentimen pelemahan rupiah berasal dari hasil pemilihan majelis tinggi Jepang yang menunjukkan Partai Demokrat Liberal yang berkuasa kehilangan mayoritas suara, karena hanya mampu mengamankan 47 kursi dari 248 kursi yang tersedia, sehingga menimbulkan keraguan atas masa depan Pemerintahan Jepang.
Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari Senin di Jakarta, melemah sebesar 26 poin atau 0,16 persen menjadi Rp16.323 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.297 per dolar AS.