“Jika dikalkulasikan, total ancaman pidana terhadap klien kami mencapai 24 tahun 5 bulan. Ini bukan hanya berlebihan, tetapi sepertinya menjadi rekor tuntutan tertinggi dalam kasus korupsi yang pernah ada di Indonesia,” kata Heri di hadapan majelis hakim.
Lebih lanjut, Heri menilai bahwa tuntutan tersebut bertentangan dengan Pasal 12 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa pidana penjara waktu tertentu tidak boleh melebihi 20 tahun.
Ia menegaskan bahwa baik pidana pokok maupun pidana tambahan dalam satu putusan tidak bisa melebihi batas maksimal tersebut.
“Kami menduga ada kesalahan penulisan atau kekeliruan hitungan dalam surat tuntutan jaksa. Ini tidak hanya keliru secara hukum, tapi juga sangat merugikan posisi hukum terdakwa,” tegasnya.
Selain mempersoalkan soal tuntutan, dalam pledoi juga dijelaskan bahwa secara hukum, terdakwa bukanlah pemilik sah dari perusahaan penyedia proyek, yakni PT Kartika Ekayasa.
“Terdakwa tidak dapat dikategorikan sebagai pemilik maupun penerima manfaat atau beneficial owner. Apalagi pengaturan mengenai beneficial owner baru secara eksplisit disebutkan dalam Perpres Nomor 13 Tahun 2018, yang fokusnya pun bukan pada tindak pidana korupsi, melainkan pencucian uang dan terorisme,” terang Heri.
Ia menambahkan, menetapkan seseorang sebagai beneficial owner dalam perkara korupsi tanpa dasar hukum yang jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip legalitas. (leo/c1/abd)