Soal Dugaan Korupsi PDAM Way Rilau, Pengacara Nilai Tuntutan Jaksa Langgar KUHP

Sidang dugaan korupsi PDAM Way Rilau Bandar Lampung--
BANDARLAMPUNG – Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi proyek PDAM Way Rilau kembali digelar di Pengadilan Tipikor Tanjungkarang, Rabu (28/5/2025).
Agenda sidang kali ini, adalah pembacaan pledoi atau nota pembelaan dari penasihat hukum terdakwa.
Dalam pledoi tersebut, penasihat hukum menyoroti sejumlah kejanggalan, termasuk tuntutan jaksa yang dinilai berlebihan dan bertentangan dengan hukum positif yang berlaku.
Heri Hidayat, selaku penasihat hukum terdakwa dari Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Heri Hidayat & Partners, dalam pembelaannya menyebut bahwa total tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum terhadap kliennya mencapai 24 tahun 5 bulan.
BACA JUGA:PTPN I Regional 7 Perkuat Peran sebagai Supporting Co Lewat Tambang Batubara di Ketahun
Hak itu terdiri dari pidana penjara selama 13 tahun 6 bulan, ditambah denda Rp750 juta subsider 6 bulan penjara, serta pidana pengganti kerugian negara senilai Rp17 miliar, yang apabila tidak dibayarkan akan diganti dengan pidana penjara selama 10 tahun 5 bulan.
"Jika dikalkulasikan, total ancaman pidana terhadap klien kami mencapai 24 tahun 5 bulan. Ini bukan hanya berlebihan, tetapi sepertinya menjadi rekor tuntutan tertinggi dalam kasus korupsi yang pernah ada di Indonesia,” kata Heri di hadapan majelis hakim.
Lebih lanjut, Heri menilai bahwa tuntutan tersebut bertentangan dengan Pasal 12 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa pidana penjara waktu tertentu tidak boleh melebihi 20 tahun.
Ia menegaskan bahwa baik pidana pokok maupun pidana tambahan dalam satu putusan tidak bisa melebihi batas maksimal tersebut.
BACA JUGA:Sumtara Surf Resort, Sajikan Kolam Renang View Sunset Samudera Hindia
“Kami menduga ada kesalahan penulisan atau kekeliruan hitungan dalam surat tuntutan jaksa. Ini tidak hanya keliru secara hukum, tapi juga sangat merugikan posisi hukum terdakwa,” tegasnya.
Selain mempersoalkan soal tuntutan, dalam pledoi juga dijelaskan bahwa secara hukum, terdakwa bukanlah pemilik sah dari perusahaan penyedia proyek, yakni PT Kartika Ekayasa.
"Terdakwa tidak dapat dikategorikan sebagai pemilik maupun penerima manfaat atau beneficial owner. Apalagi pengaturan mengenai beneficial owner baru secara eksplisit disebutkan dalam Perpres Nomor 13 Tahun 2018, yang fokusnya pun bukan pada tindak pidana korupsi, melainkan pencucian uang dan terorisme,” terang Heri.
Ia menambahkan, menetapkan seseorang sebagai beneficial owner dalam perkara korupsi tanpa dasar hukum yang jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip legalitas.