“Bu, tadi pagi waktu aku pulang dari pasar, Mbak Siska, anak Pak Lurah, datang ke sini, lo,” ujarku membuka pembicaraan.
“Ha? Ada apa, Nduk? Jangan-jangan mau kasih bedah rumah, Nduk,” ucap ibu penuh harap.
“Bukan, Bu. Bukan mau kasih bedah rumah, tapi mau kasih aku kerjaan,” jawabku cepat.
“Kerjaan apa?” tanya ibu penasaran.
“Mbak Siska menawari aku kerja di rumahnya untuk menyetrika pakaian, Bu,” jelasku ragu. Aku khawatir ibu tidak setuju.
“Nyetrika itu pekerjaan berat, lo, Nduk. Apa lagi keluarga Mbak Siska itu keluarga terpandang, suka ada acara keluar. Bajunya juga pasti banyak.”
“Tidak apa-apa, Bu. Arin mau coba. Upahnya lumayan, Bu, bisa untuk tambah-tambah membeli kebutuhuan sehari-hari kita,” jelasku meyakinkan ibu sambil terus memijat kakinya.
“Tapi, ibu tetap tidak tega melihat kamu bekerja, Nduk.”
“Ibu jangan khawatir. Kita lihat dulu beberapa hari, ya, Bu. Nanti kalau tidak sanggup karena terlalu lelah, Arin akan megundurkan diri ke Mbak Siska.” ucapku berusaha meyakinkan ibu. Ibu akhirnya menyetujui pendapatku.
Keesokan harinya, aku berangkat bekerja ke rumah Mbak Siska setelah selesai membantu ibu menyiapkan dagangannya. Kurajut asaku dari pekerjaan kecil ini. Kupandangi tumpukan pakaian yang menggunung di atas keranjang.
“Wah, banyak sekali,” batinku.
Aku mulai pekerjaanku dari memilah pakaian. Pakaian anak-anak dan dewasa aku pisah. Lalu, pakaian kerja dan pakaian biasa pun aku sendirikan. Menurutku, ini bagian penting karena untuk pakaian kerja tentu tidak boleh sembarangan menyetrikanya. Kemudian, barulah aku balik semua pakaian agar mudah disetrika.
Sebelum pulang, aku sempatkan untuk merapikan kamar tempatku menyetrika. Keranjang baju yang berserakan aku tumpuk menjadi satu. Alas untuk menyetrika aku lipat rapi lalu aku menyapu kamar itu agar bersih. Setelah semuanya beres, aku berencana berpamitan sebelum pulang. Pada saat itu, si kecil Nina, anak Mbak Siska sedang menangis kencang. Aku lihat Mbak Siska kewalahan menangani anak cantik yang sangat aktif itu.
Tergerak hatiku untuk menghibur Nina. Aku ingat Cika ketika sedang rewel sulit sekali untuk diam. Namun, Cika akan langsung berhenti menangis ketika melihatku asyik memainkan sesuatu sendirian. Aku ambil beberapa boneka kecil milik Nina. Lalu, aku jajar rapi di atas sofa. Aku berpura-pura menjadi ibu yang sedang menyuapi anaknya.
“Ayo, anak manis makan dulu, ya. Wah, pintar sekali. Setelah ini kita mau main apa?” ucapku pada boneka kelinci berwarna putih.