“Nah, dari Roni itulah Arin tahu kalau Bapak tinggal di sini.”
Bapak tampak manggut-manggut tanpa mengucap apa pun. Wajah bapak terlihat sangat tua dan tubuhnya sudah ringkih. Sebelum aku pamit, bapak memelukku lalu menangis sejadi-jadinya.
Aku tak tahu apa yang bapak tangisi. Entah karena rindu atau karena penyesalan. Padahal, aku tidak menceritakan bagaimana pilunya hidup yang kulalui sepeninggalnya. Bagaimana pun, dia adalah bapakku. Orang yang sangat aku sayangi. Dia juga berjasa telah mendidikku menjadi anak yang disiplin.
Seketika aku ingat Iibu. Aku membayangkan begitu dalam luka batin yang ia rasakan. Bersamanya, aku berdiri di atas kaki sendiri menerjang segala duka yang datang. Untaian asa yang tak henti disematkan dalam tiap doa dan ucapan harap setiap malam sebelum tidur meninggalkan rekam jejak kehidupan seorang ibu dan anak yang bertopang hidup pada sekumpulan aneka jajanan pasar.
Aku menyusuri jalan setapak menuju kos. Wajah bapak masih jelas tergambar dalam benakku. Aku sungguh tidak menyalahkannya. Aku justru berdoa yang terbaik untuknya. Kenyataan hidup yang dihadapi setiap insan memang beragam, porsi suka dan dukanya telah dibagi dengan sedemikian rupa. Tuhan akan selalu menerapkan sifat Mahaadil-Nya.
Sebuah cita-cita hidup yang gemilang tentu akan melewati jalan pahit yang berulang. Hanya perlu menyematkan sebuah keyakinan, bahwa semuanya belum berakhir. Semuanya akan baik-baik saja apabila dijalani dengan arah yang tak salah. Itulah caraku memandang hidup.(*)