Refleksi Hari Buruh 1 Mei: Era Rezim Pasar Buruh yang Fleksibel

M. Hadi Shubhan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga --FOTO DOK. PRIBADI

DUNIA perburuhan di Indonesia berkembang sangat dinamis dalam beberapa tahun belakangan ini. Pemerintah menginisiasi Omnibus Law Cipta Kerja dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kemudian diganti Perppu 2/2022 dan ditetapkan dengan UU 6/2023. Setelah melewati berbagai tekanan, khususnya dari kalangan buruh dan bahkan sudah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), UU Cipta Kerja kini sudah definitif dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tersebut. Dan kini dunia perburuhan memasuki era rezim Omnibus Law Cipta Kerja yang di dalamnya mengonstruksi pasar kerja dalam hubungan kerja yang fleksibel (labour market flexibility).

 

Omnibus Law Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan, merupakan legislasi yang cukup ”radikal”. Ia mengubah hal-hal fundamental terkait dengan hubungan kerja dalam hubungan industrial. Dikatakan ”radikal” karena selama kurun 20 tahun sejak berlakunya UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yang melewati beberapa rezim pemerintahan mulai Presiden Megawati, Presiden SBY, dan terakhir Presiden Jokowi, UU Ketenagakerjaan tersebut tidak dapat disentuh untuk dilakukan revisi. Tapi, di rezim Presiden Jokowi dan itu pun di periode kedua kepemimpinannya, baru dapat direvisi UU Ketenagakerjaan tersebut. Bahkan, revisinya cukup fundamental.

 

Perubahan UU Ketenagakerjaan itu sangat sulit, mengingat terkait dengan dua kutub kepentingan yang berbeda dan memiliki kekuatan sangat besar. Kutub pertama adalah buruh. Buruh merupakan salah satu simbol kekuatan sosiologis dan bahkan politis yang besar. Kutub lainnya adalah pengusaha. Pengusaha merupakan salah satu kekuatan besar dari aspek ekonomis dan bahkan politis.

 

Namun, era rezim Jokowi dapat mengompromikan dua kutub kepentingan itu. Meski kepentingan pengusaha lebih dominan dengan muatan norma labour market flexibility tersebut. Presiden Jokowi memiliki visi yang kuat terkait dengan kemudahan investasi di negeri ini. Bila investasi berkembang pesat, pasti akan memberikan dampak berganda (multiplier effects) pada banyak sektor. Khususnya penyerapan tenaga kerja serta peningkatan kesejahteraan buruh.

 

Dengan visi tersebut, presiden mengubah UU Ketenagakerjaan dengan menerapkan konsep pasar tenaga kerja yang fleksibel. Hal ini tidak terlepas dari pengalaman selama berlakunya UU Ketenagakerjaan serta perkembangan kemajuan dunia teknologi yang sangat berpengaruh pada hubungan industrial sehingga mau tidak mau harus ada perubahan. Sebab, kalau tidak, akan terlibas perkembangan tersebut.

 

Muatan konsep fleksibilitas pasar tenaga kerja yang dituangkan dalam UU Cipta Kerja tersebut menuangkan konsep kemudahan merekrut tenaga kerja serta kemudahan untuk mengakhiri hubungan kerja (easy to hire and easy to fore concept). UU Cipta kerja menormakan konsep kemudahan merekrut tenaga kerja. Antara lain tecermin dalam ketentuan PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu) dan pekerja alih daya. Sementara penormaan kemudahan untuk mengakhiri hubungan kerja antara lain tecermin dari alasan-alasan PHK yang dipermudah serta pengurangan pesangon bagi pekerja tetap.

 

Konsep PKWT dalam UU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk mengontrak pekerja dengan jangka waktu kontrak yang fleksibel. Apakah mau mengontrak tiap bulan, tiap tahun, ataukah sekaligus lima tahun. Berbeda dengan sebelumnya yang harus melalui tiga termin kontrak, kontrak pertama, kontrak perpanjangan, dan kontrak pembaharuan.

 

Tag
Share