RAHMAT MIRZANI

Lamban untuk yang Berpulang

-Ilustrasi PIXABAY.COM-

 Wanita lanjut usia itu perlahan memaksa tubuh rapuhnya bangun dari tidur. Ia terduduk di pinggir ranjang. Sesaat, ia melirik segelas air dan obat-obatan yang belum tersentuh di atas meja reyot di samping ranjang. 

 

 

Ia memijakkan kakinya di atas lantai dingin yang menusuk kulit keriputnya. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, perlahan ia melangkah menuju teras rumah. Hawa dingin seketika menggerogoti tubuhnya ketika pintu rumah itu dibuka. Rintik hujan membentuk kubangan air di pekarangan rumahnya. 

 

 Darminah duduk di kursi kayu sambil memejamkan mata sesaat. Entah mengapa saat ini indera pendengarannya seperti menangkap suara yang samar. Suara anak kecil yang sedang bermain air hujan sambil berceloteh tanpa henti. Ia membuka matanya ketika mendengar panggilan ibu terucap oleh anak kecil itu. 

 

Pandangannya sibuk mencari sumber suara sambil memegang erat kain yang ia sampirkan di pundak. Untuk sesaat, ia sadar bahwa itu hanya buah dari rindunya yang saat ini membuncah hebat.

 

Darminah mengembuskan napas perlahan sembari menenangkan dirinya. Bunyi dering ponsel dari dalam rumah membuat pikirannya tersentak. Dengan sedikit tergopoh, ia segera mencari sumber suara dering itu dan mengangkat telepon menjawab panggilan. 

 

"Asalamualaikum, Nak. Bagaimana? Kamu baik-baik saja, kan? Kamu jadi pulang, kan?" Pertanyaan beruntun itu dihiasi dengan senyum yang tidak dapat terelakkan. Perasaan lega langsung memuncak saat mendengar suara putrinya di seberang telepon. Perempuan tua itu sangat sumingrah ketika membayangkan polah anak dan cucunya. Ia membayangkan bagaimana suasana rumahnya ketika Ratih, putri semata wayangnya pulang bersama cucu kesayangan. Kehadiran Azam, cucunya, baru beberapa bulan lalu dirayakan. 

 

"Ibu tunggu ya, Ratih. Kamu hati-hati di jalan. Ibu tunggu di rumah. Nanti malam kita nyeruit bersama tetangga biar makin ramai." 

 

Tag
Share