Lamban untuk yang Berpulang

-Ilustrasi PIXABAY.COM-

Karya Salma Naurany Islami, SMA Negeri 10 Bandarlampung

GELAP. Ratih entah berada di mana sekarang. Dari kejauhan, tampak rumah berdinding kayu, pintunya terbuka lebar. Sekilas terlihat seorang wanita paruh baya memanggilnya. Ratih berlari mendekat ke arah wanita itu, tapi semakin ia berlari semakin jauh pula rumah itu.

"Ibu! Ibu! Tunggu Ratih!" teriaknya kencang. 

Ratih terbangun dari tidurnya. Ia seperti kebingungan, matanya menyapu setiap sudut kamarnya. Rupanya ia baru saja bermimpi.

Wanita itu mengatur napasnya, kemudian turun dari ranjangnya. Ia memastikan suaminya tidak terganggu. Ia lalu menuju meja dan menyalakan laptop. Saat ini, pikirannya adalah menyembunyikan rasa kehilangan di mimpinya dengan pekerjaan yang sangat dicintainya itu. 

BACA JUGA:Bronze

"Ratih, pulanglah! Ibu tadi menelepon. Sudah beberapa kali kamu membatalkan janji kepada Ibu. Tidak etis rasanya jika kali ini juga tidak ditepati." Abimana mengusap lembut pundak Ratih yang sedang terduduk berhadapan dengan kertas-kertas yang bertumpuk di atas meja. Tangannya sedari tadi masih menari di atas keyboard.

Diam membelenggu Ratih. Sudah beberapa kali sang ibu meminta Ratih pulang. Jumlah penolakan Ratih sebanding dengan permintaan ibunya itu. Selain karena pandemi, juga adanya larangan mudik jelang lebaran. Sejujurnya, Ratih terlalu menikmati pekerjaannya saat ini. Meskipun terkadang rasa rindu kepada sosok wanita paling berjasa dalam hidupnya itu muncul, hal itu tergantikan dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. 

Ratih menopang dagunya sambil berpikir. Tanpa sadar, tepukan pelan dari Abimana menyadarkannya. "Bagaimana? Kamu pulang? Azam juga pasti mau melihat kampung halaman ibunya." Ucapan Abimana langsung dibalas celoteh riang Azam yang berada di gendongan ayahnya.

 

"Iya, aku telepon Ibu dulu."

BACA JUGA:Manusia Pilihan

Darminah terbaring lemah di atas ranjang. Tatapan kosongnya sudah menggerogoti rumah berdinding kayu itu sejak beberapa hari lalu. Jemari keriput perempuan itu menggenggam ponsel sepanjang malam. Gelisah sudah menjadi sahabatnya saat ini. Rasa cemas tak henti membayanginya. Putrinya yang tidak kunjung memberikan kabar adalah beban utama dalam pikiran Darminah. 

 

Tag
Share