Integrasi Media Visual dalam Pembelajaran Cerpen: Alih Wahana sebagai Jalan Baru Apresiasi Sastra
Siti Asmaul Husna adalah Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Lampung 2024--
Oleh: Siti Asmaul Husna dan Edi Suyanto
Dalam beberapa tahun terakhir, minat murid terhadap bacaan fiksi, termasuk cerpen, cenderung menurun. Di sisi lain, film pendek, video TikTok, vlog harian, hingga animasi justru menjadi konsumsi harian mereka.
Perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran budaya literasi: murid semakin akrab dengan medium visual dibandingkan teks tertulis.
Di tengah situasi tersebut, alih wahana hadir sebagai pendekatan yang mampu menjembatani dunia visual yang mereka nikmati dengan dunia sastra yang sering mereka anggap sulit atau membosankan.
Alih wahana sebagai proses memindahkan karya dari satu medium ke medium lain menawarkan pengalaman belajar yang lebih kreatif, terutama ketika guru menggunakan media visual sebagai titik awal pembelajaran cerpen.
BACA JUGA:Kohesi Teks Siswa Rendah: Pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional Dinilai Perlu Diintegrasikan
Salah satu film pendek yang bisa digunakan misalnya Elegi Melodi. Ketika guru menghadirkan film ini di kelas, murid tidak hanya menontonnya sebagai hiburan, tetapi juga menggunakannya sebagai bahan untuk menghasilkan karya baru. Pada posisi inilah alih wahana memainkan peran penting.
Alih wahana bukan sekadar memindahkan isi cerita, tetapi mentransformasikan cara cerita disampaikan. Film bekerja dengan visual, musik, dan bahasa tubuh, sedangkan cerpen mengandalkan kekuatan diksi, narasi, dan imajinasi pembaca Ketika murid diminta mengubah film menjadi cerpen, mereka belajar mengubah sesuatu yang dapat dilihat menjadi sesuatu yang dapat dirasakan melalui kata. Perpindahan medium ini mengasah kemampuan mereka melihat detail, memahami emosi tokoh, dan merangkai cerita secara runtut.
Adegan dalam Elegi Melodi seperti perjuangan mewujudkan mimpi meski di usia senja memiliki daya visual yang kuat. Namun, ketika dituangkan ke dalam cerpen adegan tersebut menuntut murid untuk menggambarkannya melalui deskripsi suasana, perasaan tokoh, hingga detail latar.
Mereka perlu memilih diksi yang tepat, menciptakan suasana, dan menyusun alur secara menyeluruh. Dengan cara ini, murid memahami unsur intrinsik cerpen secara aplikatif. Penjelasan sastra tentang unsur tokoh, alur, latar, sudut pandang, dan tema pun tidak lagi hanya menjadi teori, tetapi hidup dalam tulisan mereka.
Seperti lirik lagu yang bermakna figuratif dan terbuka untuk interpretasi, film juga memiliki ruang kosong yang tidak dijelaskan secara eksplisit. Ketika dialog atau adegan tidak memberikan keterangan lengkap, murid yang mengalih-wahanakan film menjadi cerpen berhak mengisi ruang kosong tersebut dengan imajinasi dan pengalaman mereka sendiri.
Di sinilah letak nilai pedagogisnya. Proses ini selaras dengan gagasan Rosenblatt (1978) bahwa makna sastra terbentuk melalui interaksi pembaca dengan teks. Dalam konteks alih wahana, interaksi itu menjadi lebih intens karena murid bukan hanya membaca, tetapi menciptakan kembali cerita.
Melalui alih wahana, murid merasakan bahwa cerpen bukanlah teks kaku yang penuh aturan, melainkan ruang imajinasi yang bisa lahir dari bentuk apapun termasuk media visual yang mereka cintai.