PH PT LEB Nilai Kejaksaan Tidak Punya Dua Alat Bukti dan Tidak Pernah Membuktikan Kerugian Negara
Sidang Praperadilan yang diajukan Direktur Utama PT Lampung Energi Berjaya (LEB), M. Hermawan Eriadi, memasuki agenda pembacaan kesimpulan hari ini (4/12)--
BANDARLAMPUNG — Sidang Praperadilan yang diajukan Direktur Utama PT Lampung Energi Berjaya (LEB), M. Hermawan Eriadi, memasuki agenda pembacaan kesimpulan hari ini (4/12).
Dalam sidang tersebut, tim kuasa hukum menegaskan permohonan mereka agar Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan Penetapan Tersangka terhadap Hermawan dinyatakan tidak sah dan dibatalkan.
Kuasa hukum Hermawan, Riki Martim dan Nurul Amalia, menyampaikan bahwa hingga persidangan hari ini, Kejaksaan tidak pernah mampu menunjukkan dasar-dasar wajib yang menurut hukum menjadi syarat sah penetapan tersangka.
“Tidak ada dua alat bukti yang sah, tidak ada uraian perbuatan melawan hukum, tidak ada pemeriksaan dalam kapasitas sebagai calon tersangka, dan tidak pernah ada laporan kerugian negara yang nyata serta pasti. Itu inti persoalannya,” tegas Riki Martim dalam kesimpulan resmi.
BACA JUGA:KPK Telusuri Status Tanah untuk Proyek Kereta Cepat Whoosh
Dalam Sidang yang dipimpin oleh Hakim Muhammad Hibrian ini, Tim kuasa hukum menilai tindakan Kejaksaan bertentangan langsung dengan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, yang mewajibkan pemeriksaan materiil calon tersangka sebelum penyidik menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Dalam kasus PT LEB, yang dilakukan penyidik hanya pemeriksaan identitas dan struktur organisasi, tanpa pernah menanyakan substansi dugaan perbuatan pidana.
Hal ini diperkuat oleh Ahli Pidana Akhyar Salmi yang dihadirkan di persidangan.
“Pemeriksaan hanya menyangkut identitas dan jabatan tidak dapat dianggap pemeriksaan calon tersangka. Itu cacat prosedur,” ujar Akhyar Salmi dalam keterangannya.
BACA JUGA:Truk Fuso Ludes Terbakar di Tol Bakter
Sementara, Kejaksaan Tinggi Lampung selaku Termohon tetap dengan argumen semula bahwa istilah calon tersangka tidak dikenal dalam KUHAP dan pemeriksaan telah dilakukan beberapa kali saat Tersangka masih sebagai Saksi.
Elemen paling mendasar dalam pasal-pasal Tipikor adalah kerugian negara nyata, pasti, terukur.
Namun, hingga hari keempat persidangan Praperadilan, tidak ada angka kerugian negara, tidak ada metodologi penghitungannya dan tidak ada laporan audit BPKP yang pernah ditunjukkan secara utuh, baik kepada Pemohon maupun ke hadapan Hakim.
Terkait hal ini, Kejaksaan beralasan bahwa Laporan Hasil Audit BPKP tidak bisa disampaikan secara utuh karena bersifat rahasia negara sehingga tidak bisa dengan mudah disampaikan.