Ahli Sebut Penetapan Tersangka PT LEB Cacat Prosedur
Ahli Pidana dari Universitas Indonesia (UI) Akhyar Salmi.--
BANDARLAMPUNG — Sidang praperadilan PT Lampung Energi Berjaya (LEB) kembali berlanjut pada Rabu, 3 Desember 2025.
Saat itu, Pemohon menghadirkan dua ahli yang memberikan pernyataan terhadap kasus tereebut.
Kedua ahli tersebut, yakni Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang selaku Ahli Keuangan Negara dan Akhyar Salmi, selaku Ahli Hukum Pidana.
Keduanya menilai penetapan tersangka terhadap Dirut PT LEB, M. Hermawan Eriadi, tidak memenuhi standar hukum.
Kesaksian Ahli Keuangan Negara Dian Simatupang menjelaskan, penyidik wajib memiliki laporan hasil audit kerugian negara dari lembaga berwenang sebelum menjerat seseorang dengan pasal korupsi.
Ia menegaskan aturan tersebut tercantum dalam UU 15/2006, UU 15/2004, hingga Peraturan BPK No.1/2020.
Sebab, kerugian negara harus pasti, jelas, terukur, dan tersampaikan kepada pihak yang terperiksa. Namun, dalam kasus PT LEB, tidak ada satu pun angka kerugian negara yang muncul.
“Jika kerugian negara hanya berupa indikasi tanpa angka pasti, maka unsur kerugian negara belum terpenuhi. Penetapan tersangka otomatis tidak sah,” ujar Dian.
Hakim turut menanyakan nilai pembuktian LHA BPKP yang tidak pernah tersangka ketahui atau buka secara lengkap di persidangan. Dian menjawab tegas hal itu tidak bisa karena aturannya jelas dalam SEMA No. 10 Tahun 2020.
Ia juga menegaskan PT LEB tidak menerima fasilitas negara dalam kategori sebagai keuangan negara. Menurutnya, Participating Interest 10% yang menjadi dasar penugasan tidak termasuk fasilitas negara. “PI 10% itu justru memberi dividen kepada negara, bukan sebaliknya,” ungkapnya.
Kesaksian Ahli Pidana Universitas Indonesia, Akhyar Salmi, ikut memperkuat argumentasi tersebut. Ia mengklaim Kejaksaan melanggar prinsip konstitusional dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.
Ia menjelaskan penyidik wajib memeriksa calon tersangka secara materiil sebelum menetapkan status tersangka.
“Jika pemeriksaan hanya menyentuh identitas tanpa materi pokok perkara, itu tidak memenuhi syarat. Tanpa pemeriksaan materiil, penyidik melanggar due process of law,” kata Akhyar.
Ia menegaskan seseorang tidak dapat menjadi tersangka jika tidak pernah diperiksa secara substansi dan tidak mendapat penjelasan mengenai alat bukti. Lalu tidak dikonfrontir dengan keterangan saksi dan tidak mengetahui perbuatan yang disangkakan. “Penetapan seperti itu kami nilai cacat formil,” jelasnya.