Walhi Desak DPRD Evaluasi Izin LPL
Radar Lampung Baca Koran--
Meski begitu, Yusnadi mengakui bahwa dokumen tersebut dibuat sebelum ia menjabat, dan tidak menutup kemungkinan ada dinamika di masa lalu.
Ia juga berdalih bahwa prosesnya melibatkan masyarakat, meskipun belakangan banyak pihak justru mengaku tidak pernah diundang dalam sosialisasi resmi. “AMDAL itu pasti ada proses persetujuan masyarakat. Semua dilakukan sesuai ketentuan,” kata Yusnadi.
Terkait tata letak dan desain kawasan (siteplan), Yusnadi menyebut itu bukan kewenangan DLH, melainkan Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim).
Pernyataan DLH berbanding terbalik dengan keterangan Ketua Komisi III DPRD Bandarlampung, Agus Djumadi, yang mengaku belum pernah melihat dokumen AMDAL proyek tersebut.
“Sejak 2021 proyek ini sudah kami pantau. Tapi sampai sekarang kami belum menerima dokumen UPL, AMDAL, atau izin lain dari DLH dan Perkim,” ujarnya, Selasa (14/10/2025).
Agus menilai proyek Living Plaza sarat kejanggalan. Ia menyoroti potensi banjir besar di kawasan Rajabasa karena lokasi proyek berada di jalur aliran air dari Kemiling.
“Di sana tanpa pembangunan saja sudah sering banjir, apalagi ditambah bangunan besar. Kalau izin ini dibiarkan, bisa jadi bom waktu,” tegasnya.
Politisi PKS itu menuding Pemkot bermain diam-diam dalam pengurusan izin. “Tidak ada hearing, tidak ada sosialisasi, tiba-tiba ada peletakan batu pertama. Ini seperti main kucing-kucingan. Kami tidak bisa benarkan hal seperti ini,” ujarnya geram.
Komisi III berjanji akan mengawal ketat proyek tersebut dan meninjau langsung lokasi pembangunan. Hal ini agar jelas seperti apa prosesnya.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Lampung, Dr. Muhammad Thoha B. Sampurna Jaya, menegaskan bahwa AMDAL bukan sekadar formalitas izin, tetapi dokumen ilmiah yang wajib transparan.
“AMDAL itu bukan cuma selembar izin. Ia harus disertai bukti pemantauan dan pengelolaan lingkungan nyata. Masyarakat berhak tahu dampak yang mungkin muncul,” tegasnya, Senin (13/10/2025).
Menurut Thoha, pemerintah dan pengembang seharusnya membuka seluruh isi AMDAL kepada publik agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Ia juga menilai, rencana pembangunan embung di kawasan itu sebagai solusi banjir hanya bisa dianggap sah jika benar-benar tercantum dan dikaji dalam dokumen AMDAL.
“Embung bisa jadi solusi, tapi kelayakannya harus tertulis dalam dokumen AMDAL. Jangan asal janji,” ujarnya.
Thoha menambahkan, hak untuk meninjau dan mengkritisi AMDAL tidak hanya milik warga sekitar, tapi juga lembaga seperti WALHI sebagai mitra kritis pemerintah.