LAMPUNG DALAM POTRET LITERASI: ANTARA CAPAIAN DAN KETERTINGGALAN

Dr. Eka Sofia Agustina, M.Pd.-Ist-

 

Daerah skor sedang (IPLM 50–65) yaitu Pesawaran, Pringsewu, Mesuji, Tulang Bawang, Lampung Barat, dan Pesisir Barat   memiliki Karakteristik yang dimiliki terdiri atas kabupaten semi-perkotaan atau agraris; infrastruktur cukup, tapi belum merata; budaya baca belum kuat; Keterbatasan SDM penggerak literasi.  Lalu strategi rekomendasi yang diberikan terdiri atas (1) aktivasi literasi berbasis desa/kelurahan: adakan pojok baca di balai desa, masjid, posyandu. (2) pelatihan literasi untuk kader desa, PKK, dan karang taruna. (3) revitalisasi perpustakaan sekolah dengan koleksi yang relevan dan program literasi nonformal. (4) kemitraan lintas sektor: libatkan dinas, LSM, dan sektor swasta untuk mendukung logistik dan pelatihan.

Selanjutnya, daerah skor rendah (IPLM < 50) yaitu Lampung Tengah, Lampung Timur, Tanggamus, dan Lampung Selatan memiliki karakteristik seperti banyak wilayah rural dan terpencil; tingkat pendidikan rendah; terbatasnya akses buku, internet, dan tenaga pendidik; dan masyarakat bekerja di sektor informal atau pertanian. Strategi rekomendasi yang dirumuskan yaitu (1) program pengentasan buta aksara kontekstual: gunakan bahasa lokal sebagai pengantar awal ; (2) literasi fungsional: materi disesuaikan dengan kebutuhan warga (misal: membaca label obat, memahami pupuk, surat menyurat); (3) mobilisasi kendaraan literasi keliling (motor/bus baca) ke pelosok; (4)  gerakan “orang tua membacakan” di rumah: kuatkan literasi keluarga; (5) pendidikan informal dan nonformal: bentuk kelas-kelas belajar komunitas (misal: di rumah ibadah, rumah warga).

Didasarkan pada data tersebut, beberapa rumusan rekomendasi secara umum untuk semua kabupaten dan kota di Provinsi Lampung antara lain (1) pemimpin daerah sebagai role model literasi yaitu gubernur, bupati/walikota, dan camat harus aktif mempromosikan literasi, hadir dalam kegiatan membaca, dan mendukung anggaran yang memadai; (2) perpustakaan sebagai pusat literasi, bukan gudang buku dengan menjadikan perpustakaan sebagai ruang interaktif, tempat pelatihan, diskusi warga, dan kegiatan anak-anak; (3) monitoring dan  evaluasi IPLM berbasis RT/RW/Dusun melalui pemetaan literasi hingga tingkat dusun untuk mengetahui siapa yang belum bisa membaca dan apa kendalanya; (4) kolaborasi dengan lembaga keagamaan dan adat bahwa di banyak wilayah Lampung lembaga adat dan agama memiliki pengaruh kuat yang dapat menjadi mitra strategis dalam menyebarkan budaya literasi.

Dan pada akhirnya, literasi tidak bisa dibangun dengan pendekatan seragam. Wilayah yang maju butuh literasi kritis dan digital; wilayah tertinggal butuh literasi dasar dan kontekstual. Yang terpenting adalah membangun ekosistem literasi yang hidup bukan hanya lewat buku, tetapi  lewat pertemuan, pelatihan, dan keteladanan.  Strategi yang perlu dibangun harus adaptif dan kolaboratif. Perlu dicatat bahwa Lampung memiliki 2 jenis aksara sebagai catatan sejarah kekayaan perdaban manusia yaitu aksara Latin yang dipakai secara nasional dan aksara Lampung (Ka- Ga – Nga) yang masuk kategori aksara tradisonal jenis  Abugdia.

Ingat bahwa aksara  bukan hanya alat teknis, tetapi juga simbol kekayaan budaya, identitas kolektif, dan kemajuan peradaban. Dalam banyak kasus, hilangnya aksara berarti hilangnya jejak sejarah dan cara pandang suatu masyarakat.  Namun, keduanya saling melengkapi. Tanpa bahasa, aksara tak bermakna. Tanpa aksara, bahasa tak terekam. Jayalah  Indonesiaku.  Lestari Budayaku, Lestari Bahasaku. Salam Literasi! (*)

Tag
Share