MKD DPR Minta Setjen Hentikan Gaji dan Tunjangan Anggota Dewan yang Dinonaktifkan

Ketua MKD DPR RI Nazaruddin Dek Gam menegaskan penghentian gaji anggota dewan yang dinonaktifkan adalah bentuk tanggung jawab moral DPR. -FOTO DISWAY -

JAKARTA – Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI resmi meminta Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR untuk menghentikan pembayaran gaji dan tunjangan bagi anggota dewan yang telah dinonaktifkan oleh partainya.
Ketua MKD DPR Nazaruddin Dek Gam menyebut langkah ini merupakan bagian dari penegakan etika sekaligus bentuk tanggung jawab moral lembaga legislatif di hadapan publik.
“MKD sudah mengirim surat kepada Sekjen DPR untuk menghentikan gaji maupun tunjangan lain bagi anggota yang sudah dinonaktifkan,” ujar Dek Gam, Rabu (3/9/2025).
Menurutnya, saat ini terdapat lima anggota DPR yang dinonaktifkan partai masing-masing. Namun, jumlah tersebut berpotensi bertambah seiring proses pendalaman yang masih dilakukan MKD.
“Kita tidak menyebutkan nama satu per satu karena bisa saja jumlahnya bertambah. Semua akan diputuskan melalui sidang MKD,” jelasnya.
Meski mekanisme penghentian gaji tidak secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang MD3, MKD menilai langkah tersebut tetap sah untuk ditempuh. “Di MD3 memang tidak disebutkan, tetapi MKD berhak meminta,” tegasnya.
Dek Gam juga menegaskan, keputusan final terkait mekanisme penghentian gaji dan tunjangan akan ditentukan dalam sidang MKD.
Sejauh ini, lima anggota DPR yang telah dinonaktifkan partainya karena dianggap memicu keresahan publik antara lain Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach (NasDem), Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio dan Surya Utama atau Uya Kuya (PAN), serta Adies Kadir (Golkar).
Sebelumnya, Pengamat politik Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riewanto menilai langkah partai politik menonaktifkan anggota DPR yang bersikap arogan dan memicu kegaduhan belum cukup. Menurutnya, solusi ideal adalah melakukan pergantian antarwaktu (PAW).
“Kalau itu bagian dari respon partai, seharusnya dilakukan PAW, bukan hanya dinonaktifkan. Dinonaktifkan itu artinya tidak bekerja sementara, tetapi tidak serta-merta berhenti sebagai anggota DPR,” jelas Agus saat dikonfirmasi, Selasa (2/9/2025).
Agus mencontohkan beberapa nama anggota DPR yang tengah menjadi sorotan publik, antara lain Ahmad Syahroni (NasDem), Eko Patrio (PAN), Uya Kuya (PAN), Dedi Sitorus (PDIP), dan Nafa Urbach (NasDem). Dari deretan tersebut, sebagian sudah dinonaktifkan oleh partainya, namun ada yang masih bertahan tanpa sanksi.
Ia menyoroti posisi Dedi Sitorus dari Fraksi PDIP yang hingga kini belum mendapat tindakan tegas dari partainya. Menurut Agus, hal itu bergantung pada mekanisme internal PDIP. “Kalau soal mengundurkan diri atau tidak, itu bisa soal rasa dan sensitivitas pribadi. Tetapi keputusan resmi tetap bergantung pada mekanisme partai,” ujarnya.
Meski demikian, Agus menekankan bahwa yang paling penting adalah perubahan sikap dari anggota dewan itu sendiri. “Menurut saya, sepanjang mereka bisa memperbaiki diri, mengubah sikap, dan menjadikan kasus ini pelajaran, itu lebih bermanfaat daripada sekadar mundur,” tegasnya.
Ia juga mengimbau para wakil rakyat agar lebih bijak dalam menyampaikan pernyataan publik. “Jangan sampai banyak pernyataan yang justru menyakiti masyarakat. Tindakan partai menonaktifkan beberapa anggota DPR sudah tepat, tapi jangan berhenti di individu saja. Institusi DPR secara keseluruhan juga harus berbenah,” kata Agus.
Gelombang kritik terhadap DPR memuncak pada akhir Agustus 2025. Aksi besar yang disebut “Revolusi Rakyat Indonesia” terjadi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, dan menyebar ke kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang, Makassar, Medan, hingga Mataram.
Demonstrasi ini dipicu oleh keputusan DPR terkait tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan, ditambah sikap arogan sejumlah anggota dewan yang membuat publik marah.
Menanggapi tekanan masyarakat, beberapa partai politik besar langsung mengambil langkah disiplin. PAN menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya, NasDem menonaktifkan Ahmad Syahroni serta Nafa Urbach, sementara Golkar mencopot Adies Kadir dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR RI.
Namun, posisi Dedi Sitorus (PDIP) yang sempat melontarkan pernyataan kontroversial dengan menyebut “jangan samakan DPR dengan rakyat jelata” masih belum mendapat sanksi.
Agus menegaskan bahwa DPR harus mengubah paradigma dan lebih berpihak pada masyarakat. “Harapannya, para wakil rakyat tidak hanya loyal pada partai atau kepentingan pribadi, tapi benar-benar bekerja untuk publik,” pungkasnya. (disway/c1/abd)

Tag
Share