Ratusan Guru Besar Kecam Gaji Jumbo Pejabat
Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof. Sulistyowati Irianto.--FOTO BERITASATU.COM/HENDRO DAHLAN SITUMORANG
JAKARTA – Sebanyak 344 guru besar dari berbagai perguruan tinggi yang tergabung dalam Aliansi Akademisi Peduli Indonesia menyuarakan kritik keras terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak adil. Di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang kian memburuk dan beban pajak yang semakin berat, para pejabat negara justru disebut menikmati fasilitas mewah dan gaji jumbo.
Koordinator aliansi sekaligus Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menyoroti ketimpangan antara elite pejabat dengan rakyat biasa. Ia menilai kebijakan penggajian dan tunjangan pejabat, khususnya di legislatif dan BUMN, telah melukai rasa keadilan publik.
’’Gaji dan fasilitas berlebihan kepada anggota legislatif yang masih aktif maupun pensiun seumur hidup kepada anggota legislatif purna tugas, serta penggajian direksi dan komisaris BUMN yang mencapai miliaran rupiah per bulan, jelas melukai rasa keadilan dan harus ditinjau ulang,” tegas Sulistyowati dalam konferensi pers daring, Senin (1/9).
Menurutnya, kebijakan anggaran negara saat ini tidak berpihak kepada rakyat kecil, melainkan lebih banyak digunakan untuk memperkaya segelintir orang di lingkar kekuasaan. Sementara itu, pemerintah daerah yang mengalami pengurangan alokasi Transfer ke Daerah (TKD) dari pusat justru menutup defisit dengan menaikkan berbagai jenis pajak yang membebani masyarakat.
“Pemerintah daerah menerjemahkan semua itu dengan kebijakan sewenang-wenang, seperti menaikkan pajak berlipat-lipat akibat pengetatan anggaran dari pemerintah pusat,” ungkapnya.
Sulistyowati juga menyoroti turunnya daya beli masyarakat, melonjaknya harga bahan pokok, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), mahalnya biaya pendidikan, serta banyaknya industri yang tutup karena beban produksi tinggi. Kondisi ini, menurutnya, membuat investor menarik diri.
Selain itu, kebijakan pembangunan disebut tidak lagi berbasis pada penguatan sumber daya manusia, melainkan pada eksploitasi sumber daya alam tanpa batas. Dampaknya, masyarakat adat kehilangan ruang hidup dan kerusakan ekologis semakin meluas.