Plus-Minus Tarif Impor AS 19 Persen

NEGOSIASI: Presiden Prabowo Subianto berbincang dengan Presiden AS Donald Trump melalui sambungan telepon untuk menegosiasikan tarif dagang, Selasa (15/7).--FOTO ISTIMEWA

 

Pada akhirnya, jika neraca pembayaran melemah akibat lonjakan impor dan lemahnya ekspor, rupiah berpotensi tertekan. Pelemahan rupiah akan menaikkan harga barang impor lain, mendorong inflasi, dan mengurangi daya beli masyarakat.

 

 

Bahkan, Achmad menuturkan, jika AS menurunkan tarif menjadi 10 persen atau 5 persen sekalipun dengan syarat kita membeli lebih banyak produk mereka, maka itu tetap bukan win-win solution. Sebab, menambah impor tanpa memperkuat produksi domestik hanya akan memperlebar defisit neraca transaksi berjalan dan meningkatkan tekanan utang luar negeri.

 

"Kepentingan nasional Indonesia harus selalu ditempatkan di atas narasi defisit perdagangan negara lain. Diplomasi ekonomi Indonesia semestinya bertumpu pada negosiasi setara dan strategi perdagangan yang memperkuat industri dalam negeri, bukan menambah ketergantungan," ujar Achmad.

 

Josua pun mengamini bahwa tarif nol persen berpotensi menurunkan surplus perdagangan dan penerimaan negara terutama dalam jangka pendek. Meski demikian, jika Indonesia dengan cermat memanfaatkan momentum ini untuk mengimpor barang modal dan barang antara (intermediate goods) maka efek jangka panjangnya justru positif.

 

"Pada akhirnya, keberhasilan kesepakatan ini bukan semata-mata ditentukan oleh angka tarif, melainkan bagaimana Indonesia mampu mengoptimalkan peluang yang ada untuk meningkatkan daya saing produk nasional secara keseluruhan, sekaligus menjaga posisi strategisnya di tengah dinamika geopolitik dan perdagangan global yang kompleks," ungkap Josua. (beritasatu.com/c1)

 

Tag
Share