Mengayuh Syukur, Denni Sudiyono Tempuh Ribuan Kilometer Menuju Titik Nol Indonesia

-FOTO DOKPRI -
Dan lebih dari itu: usianya kini 67 tahun.
Perjalanan ini bukan iseng, bukan pencapaian olahraga. Ini adalah nazar. Wujud syukur karena ia telah selesai mengantarkan ketiga anaknya menikah.
“Yang pertama menikah 2017, yang kedua 2013, dan si bungsu baru saja menikah tahun ini,” katanya dengan mata berbinar. “Tugas saya sebagai ayah, selesai,” ungkapnya.
Sejak tahun lalu, ia mulai merancang perjalanan ini. Persiapan dilakukan perlahan—bukan hanya fisik, tapi juga mental. Tapi satu hal sudah lama ia miliki: cinta mendalam terhadap bersepeda.
Dulu, saat masih bekerja di Jasa Marga, ia rutin berangkat dan pulang kerja naik sepeda. Ia memiliki 10 unit sepeda, masing-masing punya kenangan. Sambil berseloroh, ia bilang “Istri saya cuma satu, tapi sepeda saya sepuluh. Jadi, kalau kata orang, saya poligami sepeda,” selorohnya lagi.
Sejak pensiun pada 2014, ia mengayuh sepeda setiap hari. Jam kerja barunya dimulai pukul enam pagi, kadang hingga jam sepuluh.
Rutenya berubah-ubah, tapi satu hal tetap: semua orang yang ia temui di jalan adalah kawan seperjalanan—satpam, pedagang asongan, tukang parkir. Mereka adalah "rekan kerja"-nya di "kantor" bernama jalanan.
Perjalanan ini bukan yang pertama. Tahun 2013, ia pernah menempuh jalur Pontianak–Putussibau di Kalimantan Barat, dua minggu lamanya.
Tapi kali ini, ia menargetkan jarak lebih jauh: sekitar 2.330 kilometer. Ia menargetkan waktu sekitar satu bulan, karena sang istri sudah memberi izin hingga Agustus.
Menempuh perjalanan sejauh itu di usia senja tentu menantang. Tapi Pak Denni tak gentar. Ia tahu batasnya. Tak ada target waktu kaku. Jika lelah, ia istirahat. Jika tanjakan terlalu berat, ia tuntun sepeda. “Kata istri, jangan maksa. Jadi ya, senyamannya saya saja,” tuturnya santai.
Ia juga tak ingin menyusahkan siapa pun. Di sepanjang jalur yang biasa dilintasi para pejalan ekstrem, sudah tersedia titik-titik istirahat yang disediakan komunitas atau warga lokal.
Seperti saat di Bakauheni, saat ia semula hendak tidur di musholla, tapi diarahkan ke area khusus bagi peziarah jalanan seperti dirinya.
Setelah Bandarlampung, rutenya akan lanjut ke Pringsewu, Kota Agung, hingga terus menembus wilayah paling barat Indonesia.
Bagi Pak Denni, ini lebih dari sekadar perjalanan fisik. Ini perjalanan batin. Perjalanan untuk menepi dari rutinitas, menyelami makna hidup, dan mensyukuri setiap langkah yang telah ia tempuh. “Kalau anak muda bilang, ini healing,” katanya sambil tersenyum.
Dan kelak, saat ia kembali ke rumah, ia tak hanya membawa cerita, tapi juga rasa baru: bahwa hidup, jika dirayakan dengan tulus, bisa sesederhana mengayuh sepeda di bawah matahari, menuju ujung paling jauh dari tanah air yang ia cintai.