Potensi Pajak Rp160,6 T Bisa Menguap

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan. --FOTO ROJAK/JAWA POS
Jika Kebijakan IHT Tak Tepat
JAKARTA - Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan berpandangan polemik Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, khususnya pada Bagian XXI Pengamanan Zat Adiktif yang termuat dalam Pasal 429-463, berpotensi mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia. Henry meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes), agar tidak memaksakan diimplementasikannya PP No. 28/2024 saat situasi geopolitik tak menentu.
Henry juga mengingatkan bahwa PP No. 28/2024 dinilai cacat hukum. Pasalnya, proses penyusunannya tidak transparan dan minim pelibatan pelaku industri hasil tembakau (IHT).
"Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan dalam produk hukum yang dihasilkan dan berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi industri dan perekonomian nasional yang tidak sedang baik-baik saja," kata Henry Najoan.
Gappri menengarai, pemaksaan diimplementasikannya PP No. 28/2024 oleh Kemenkes lebih mewakili agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Gappri berharap agar Presiden Prabowo Subianto yang berkomitmen meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menyerap jutaan tenaga kerja, tidak terganggu oleh agenda FCTC.
Kajian Gappri menyatakan, PP No. 28/2024 memiliki dampak ekonomi yang sangat besar, yakni mencapai Rp182,2 triliun. Dengan 1,22 juta pekerja di seluruh sektor terkait terdampak.
"Larangan penjualan dalam radius 200 meter dari sekolah, potensi kerugian mencapai Rp84 triliun. Pembatasan iklan berdampak ekonomi yang hilang mencapai Rp41,8 triliun," ujar Henry Najoan.
Henry Najoan menegaskan, apabila ketiga aturan tersebut (kemasan polos, larangan penjualan, dan pembatasan iklan) diberlakukan, potensi pajak yang hilang diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun.