Pembelajaran Coding Dinilai Akan Ada Kesenjangan Digital
Ketua APKS PGRI Provinsi Lampung Maya Trisia Wardani--FOTO ISTIMEWA
BANDARLAMPUNG - Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Lampung menilai usulan pembelajaran coding pada sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) ini antara kesenjangan digital dan pemerataan. Hal ini disampaikan Ketua APKS PGRI Provinsi Lampung Maya Trisia Wardani.
Maya menyatakan usulan pembelajaran coding antara kesenjangan digital dan pemerataan bukan tanpa alasan. Maya mempertanyakan sampai manakah tingkat urgensi implementasi kebijakan ini sehingga sudah selayaknya diberlakukan. Kemudian indikator apa saja yang perlu dipersiapkan agar hal baru yang menyasar pada penguasaan teknologi ini dapat benar-benar berpihak pada siswa secara umum.
Bukan hanya menyentuh siswa di kota-kota besar yang seolah sudah mewakili kualitas pendidikan di seluruh bagian Indonesia, Maya menyebutkan data yang dirilis dari hasil pendataan Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah memperkirakan bahwa penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan sebesar 66,6 persen pada 2035. ’’Sedangkan pada 2020, jumlah populasi yang tinggal di perkotaan diperkirakan mencapai 57,3 persen dari populasi total Indonesia,’’ katanya.
Pendataan yang dilakukan selama lima tahun sekali ini, kata Maya, mengindikasikan bahwa hampir setengah penduduk Indonesia masih tinggal di pedesaan. ’’Hampir samanya jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan dan pedesaan akan berimbas secara langsung pada dunia Pendidikan,’’ ujarnya.
Kesenjangan pada kemampuan penguasaan serta fasilitas digital antara pusat kota, kota pinggiran, dan desa, kata Maya, saat ini masih menjadi kendala bagi pemerataan digitalisasi pendidikan. "Kesenjangan digital mengacu pada mereka yang memiliki akses ke teknologi digital dan internet dengan mereka yang tidak," ungkapnya.
Kepala SMPN 38 Bandarlampung ini menambahkan, dalam konteks pendidikan dasar (SD dan SMP, Red) di Indonesia, kesenjangan digital masih menjadi perhatian yang signifikan. ’’Hal ini dikarenakan teknologi yang semakin berperan penting dalam pembelajaran modern dan sumber daya Pendidikan,’’ katanya.
Pemetaan kesenjangan digital dalam pendidikan sekolah di Indonesia, kata Maya, melibatkan identifikasi kesenjangan akses perangkat digital dan konektivitas internet antara siswa serta sekolah di berbagai wilayah dan latar belakang sosial ekonomi. ’’Adanya perbedaan ketersediaan konektivitas internet menjadi salah satu aspek utama kesenjangan digital di sekolah-sekolah Indonesia,’’ ujarnya.
Sementara daerah perkotaan khususnya pusat perkotaan, kata Maya, umumnya memiliki infrastruktur internet yang lebih baik dan penetrasi internet yang lebih tinggi dari daerah pinggiran kota atau pedesaan. ’’Maupun daerah terpencil sering kesulitan dengan akses internet yang terbatas atau tidak ada sama sekali (blank spot),’’ ungkapnya.
Kurangnya konektivitas ini, kata Maya, menghambat akses siswa ke sumber belajar online, platform pendidikan, dan alat digital. ’’Hal ini menempatkan mereka pada posisi yang kurang menguntungkan dibandingkan rekan mereka di perkotaan dalam hal digitalisasi pembelajaran. Bahkan jika beberapa sekolah memiliki akses ke perangkat digital dan konektivitas internet, maka kualitas dan keragaman konten pendidikan yang tersedia secara online dapat sangat bervariasi serta membingungkan,’’ ujarnya.
Sekolah dan lembaga swasta yang didanai dengan baik, kata Maya, mungkin mampu membayar langganan ke platform pendidikan yang komprehensif, memberikan siswa berbagai sumber daya, dan materi pembelajaran interaktif. ’’Sebaliknya, sekolah kurang mampu atau pinggiran tentu memiliki akses sangat terbatas atas konten semacam itu. Maka masalah perbedaan ini pun akan berdampak pada kualitas pendidikan secara keseluruhan,’’ ungkapnya.
Karena itu, Maya mencoba memberikan beberapa solusi terkait kesenjangan digitalisasi pendidikan bisa diberikan yaitu penyediaan infrastruktur digital untuk sekolah yang tidak dapat mengakses internet. "Jadi pemerintah tidak harus mendistribusikan gawai terlebih dahulu ke tiap sekolah, melainkan mulai dengan mendistribusikan materi pembelajaran secara offline untuk setiap sekolah di awal sebagai sarana digital utama," jelas Maya.
Penyediaan ini dapat melayani semua perangkat digital, sambung Maya, seperti smartphone, tablet, maupun laptop tanpa menggunakan internet atau data.
’’Hal ini dilakukan agar masyarakat bisa memanfaatkan materi digital yang sudah ada untuk pembelajaran tanpa perlu akses internet. Terlebih libur sekolah saat ini yang menyisakan waktu satu semester ke depan untuk tahun ajaran 2024-2025 diharapkan menjadi waktu tenggat bagi pemegang kebijakan dapat memulai kembali program penyetaraan teknologi ini. Semester dua akan dimulai hampir serentak di seluruh Indonesia yaitu 2 Januari 2025. Saat semester tahun baru itu terlaksana, hendaknya beberapa permasalahan pendidikan di tahun sebelumnya telah mendapatkan solusi terbaik,’’ katanya.
Indikator keberhasilan pembelajaran yang digagas kementerian, kata Maya, adalah adanya partisipasi siswa-siswi dalam pendidikan Indonesia yang merata, pembelajaran yang efektif, dan tidak adanya ketertinggalan peserta didik. ’’Mari bersama kita kawal dan upayakan pencapaian indikator ini agar dapat selalu berjalan efektif dan optimal. Hal ini seyogianya menjadi pemikiran bersama untuk mendapatkan solusi terbaik agar prioritas Merdeka Belajar yang utama yaitu digitalisasi pembelajaran dan sekolah dapat menyentuh akar rumput. Pendidikan pada masyarakat dan peserta didik marginal,’’ ucapnya.