Bawaslu Header

Di Bawah Layangan Malam

foto pixabay-foto pixabay-

Seperti orang bisu, Egan hanya mengangguk untuk membalas sapaannya. Gilang tersenyum paksa. Kesal juga ia dengan sikap tak acuh Egan kepadanya. Emosinya dapat terbaca melalui matanya yang menatap tajam Egan. Untunglah Ditya dapat membaca raut wajah Gilang dengan tepat. Ia pun segera membicarakan topik lain untuk menghilangkan ketegangan.

“Nah, sudah pas empat orang. Mari kita berbagi tugas untuk membawa barang-barang yang kita butuhkan besok.” Mereka pun mulai berdiskusi dan membagi tugas. Ditya menghela napas lega melihat Gilang yang sudah tidak emosi lagi.

Keesokan harinya, semua siswa sudah siap dengan perlengkapan yang dibawa di kawasan berkemah. Kawasan tersebut cukup bagus dan aman untuk berkemah. Dataran berumput halus terletak di pinggir hutan di dekat sungai kecil. Ditya dan Gilang menentukan tempat untuk mendirikan tenda. Sementara itu, Buwo mengambil tenda yang sudah dipersiapkan oleh guru. Semuanya terlihat senang dan menikmati kegiatan masing-masing. Tapi, alis Egan berkerut selama membangun tenda. Ia duduk menyendiri.

“Huh! Tidak seru sekali. Di sini sama sekali tidak ada sinyal! Kenapa mereka ini suka melakukan hal merepotkan seperti ini, sih!” ujarnya sambil bersungut-sungut. Gilang dan Buwo menatap Egan. Sementara semua sedang sibuk mendirikan tenda, Egan menggenggam gawainya sambil mengacungkannya ke atas. Suasana regu menjadi tidak nyaman. Semuanya menjadi canggung akibat perkataan Egan.

“Kalau tidak suka, silakan pulang. Temanmu hanya gawai saja kan? Ups, maaf aku lupa ‘temanmu’ tidak akan berfungsi di sini, apalagi saat tak ada jaringan,” ejek Gilang lalu melengos. Ia sudah malas menghadapi sikap Egan.

“HEH! APA MAKSUDMU? Kenapa bisa ada laki-laki yang mulutnya lemas seperti perempuan,” perkataan pedas pun muncul dari mulut Egan. Ia langsung naik pitam, tidak terima dengan apa yang ia dengar.

“Setidaknya mulutku masih bisa untuk bicara. Tidak seperti orang bisu yang bisanya menggangguk-angguk saja,” sarkasme yang dilakukan Gilang memukul hati Egan.

“Baiklah, aku pergi saja kalau begitu!” dengan emosi yang berkecamuk di kepala, Egan menuju ke arah hutan. Ia tidak peduli ke mana ia akan pergi. Yang ia inginkan hanya menjauh dari kawasan berkemah.

“EGAN! Jangan ke sana!” teriak Ditya. Ia panik melihat sahabatnya berlari kencang seperti itu.

Ditya mengikutinya masuk ke hutan. Ia celingukan. Egan tidak tampak batang hidungnya. Pepohonan di area itu tampak rimbun. “Ah, Egan pasti bersembunyi di salah satu pepohonan itu,” katanya dalam hati. 

“Egan!” panggil Ditya. Tak ada suara menyahut. Tidak tahu sudah berapa jauh ia masuk ke dalam hutan. Pasti mereka sudah sangat jauh dari kawasan berkemah. Ditya  kehilangan jejak Egan saat mengejarnya. Tanpa terasa, sinar matahari meredup, tanda hari telah beranjak petang.

Ia terus berjalan sambil mencari jejak keberadaan Egan. Tak lama kemudian, ia mendengar suara sesuatu yang terus saja menghantam pohon. Ia mengintip untuk memastikan itu bukanlah hewan buas. Ditya mendapati Egan tengah memukuli sebuah batang pohon. Matanya memerah karena marah. Tak jauh dari situ, sebuah benda berbentuk pipih tergeletak di tanah.  Ternyata gawai kesayangannya hancur.

“BERHENTI! Tanganmu nanti luka! Ayo kembali ke tenda,” Ditya segera  menarik kerah baju Egan. Ia mengguncang tubuh Egan untuk menyadarkannya dari amarah.

Egan mengerang keras. Ditya berusaha menenangkan Egan dengan berbagai cara. Sayangnya, matahari telah tenggelam. Keadaan hutan sudah sangat gelap, penerangan mereka hanya berasal dari cahaya bulan. Langit menjadi keabu-abuan. Bintang-bintang di langit terlihat memancarkan cahaya.

“Maaf, kita jadi tersesat karena aku terbawa emosi,” setelah sadar, Egan menundukkan kepalanya dan meminta maaf. Perasaan bersalah menyelimuti hati Egan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan