One of the Standards of Beauty
-Ilustrasi Freepik -
"Betul, aku sangat senang bisa menjadi teman sebangkumu," ujar Asteria.
Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi. Hari pertamaku di sekolah dipenuhi hal-hal yang tidak menyenangkan.
Tak terasa aku sudah hampir dua bulan di sekolah ini. Aku mulai mengerti yang mereka bicarakan tentangku. Mereka tidak menyukaiku bukan karena aksen bahasa Indonesiaku yang aneh atau berbahasa Indonesiaku yang tidak lancar. Ternyata, mereka tidak menerima kondisi fisikku karena aku terlahir dengan kulit yang berwarna gelap dan badan yang berisi.
Aku baru menyadari standar kecantikan menentukan segalanya di negara ini. Orang yang berkulit putih, wajah yang berbentuk oval, badan yang langsing dan tinggi akan menjadikan dirimu bak seorang ratu.
"Gitta, katanya mau makan?" teriak Mmama.
"Iya, Mah," jawabku sambil berjalan menuju ruang makan.
"Bagaimana sekolahmu, Gitta?" tanya ayahku ketika melihatku sudah duduk di kursi.
"Aku hanya mempunyai satu teman. Mereka menjauhiku karena kulitku yang gelap," jawabku dengan menghela napfas.
"Tiap ras memiliki ciri khas mereka sendiri, Gitta. Ini merupakan hasil adaptasi nenek moyang kita terhadap kondisi geografis yang dapat mempengaruhi pigmentasi," jawab ayahku.
"Lalu mengapa mereka hanya merundung orang yang berkulit gelap? Bukankah mereka terlalu jahat?" sambungku.
"Mereka hanya tidak tahu dan tidak mengerti cara menghargai setiap perbedaan. karena Karena itu, kita harus banyak-banyak bersyukur," ucap Mmama mengakhiri obralan malam ini.
Besoknya pukul 05.45 Mmama datang ke kamarku.
"Gitta, bangun, Nak. Bukankah hari ini kamu akan berangkat ke sekola, Nak?" tanya Mmama sambil menggoyangkan tanganku.
"Ukhhh. Bolehkah aku hari ini tidak bersekolah dahulu?" pinta Gitta.
Mama dengan sigap langsung mengecek kondisi tubuhku.