Menjaga Api Literasi dari Gang hingga Kota, Yoga Pratama Raih Gelar Relima Inspiratif 2025

Yoga Pratama saat mendapat penghargaan Relawan Literasi Masyarakat (RELIMA) Inspiratif 2025. -Foto Ist-

BOGOR, RADAR LAMPUNG - Di sebuah ruangan yang dipenuhi para pegiat literasi dari seluruh penjuru Indonesia, nama Yoga Pratama dipanggil sebagai penerima Relawan Literasi Masyarakat (RELIMA) Inspiratif 2025. Tepuk tangan bergemuruh, namun Yoga hanya tersenyum tipis—seolah penghargaan dengan Nomor HMP.05/3631/2025 itu bukanlah miliknya sendiri.

“Saya cuma bagian kecil dari gerakan besar ini,” ucapnya lirih. Kalimat yang mencerminkan wataknya: tenang, merendah, dan menempatkan literasi sebagai ruang pengabdian, bukan panggung pencitraan.

Jejak literasinya tidak dimulai dari ruang pelatihan resmi atau buku-buku tebal. Ia bermula dari permainan kampung—ular tangga, congklak, dongeng sederhana—yang ia modifikasi menjadi media belajar baca-tulis dan numerasi.

“Saya percaya pengetahuan itu tidak harus jauh. Ia tumbuh kalau dekat dengan budaya dan pengalaman kita,” kenangnya.

Dalam enam bulan masa mandatnya sebagai RELIMA yang diinisiasi Perpusnas RI, Yoga menggerakkan berbagai aktivitas kolaboratif: membaca nyaring, literasi lingkungan, hingga penulisan cerita rakyat lokal.

Meski programnya belakangan dilirik Perpusnas, Yoga menolak disebut ahli. Ia menyebut dirinya “pembelajar paling bising” — seseorang yang terus mencoba, gagal, mencoba lagi, tanpa berhenti berproses. “Penghargaan ini justru pengingat bahwa kerja kita masih panjang,” katanya.

Bagi Yoga, gerakan literasi mustahil berdiri sendiri. Ia menyebut satu per satu pihak yang selama ini menopang programnya. Di antaranya Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Lampung, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Bandar Lampung, Taman Bacaan Masyarakat, perpustakaan kelurahan, mitra Perpusnas RI, serta rekan-rekan RELIMA dari Bandar Lampung, Way Kanan, dan Metro.

“Kalau dikerjakan sendirian, gerakan literasi tidak akan pernah besar. Energinya datang dari banyak orang baik,” tuturnya.

Bagi sebagian orang, penghargaan nasional adalah puncak prestasi. Tidak bagi Yoga. Ia justru melihatnya sebagai awal babak baru yang menuntut kerja lebih konsisten.

“Saya ingin amanah ini tidak berhenti di piagam. Ia harus hidup di lapangan—di anak-anak yang menemukan dunia lewat membaca, di warga yang mulai percaya bahwa literasi itu penting,” ujarnya.

Malam semakin larut di Bogor. Namun di dunia literasi Lampung, satu cahaya kembali menyala: cahaya milik seorang relawan yang percaya bahwa perubahan tidak perlu besar—yang penting konsisten, dekat dengan rakyat, dan dikerjakan bersama. (*)

 

Tag
Share