Untung saja Nana masih bisa mengontrol emosi. Jika tidak, mungkin benar saja dia akan menonjok Ervan sampai benar-benar berhenti berbicara, sekaligus memamerkan keahlian bela diri yang dia miliki.
"Na, kenapa sih lu bisa cantik banget. Pasti banyak yang suka sama kamu, kan?" tanya Ervan.
Dugaan Ervan sama sekali tidak ada benarnya. Bahkan, jika memang benar banyak yang menyukainya, Nana tidak akan memperdulikannya.
"Oh iya, kalau gue udah nggak ada. Lu nggak usah khawatir karena kuyakin pasti banyak laki-laki yang bakal jagain Lu," lanjutnya.
Sepertinya Ervan sudah tidak waras atau mungkin dia memiliki penyakit. Hari ini dia benar-benar bersikap aneh, bahkan kelewat batas dan tidak masuk akal.
"Tenang aja, pasti ayah selalu jagain aku," Nana menjawab seperlunya saja.
Ia sudah malas membahas masalah ini dan untuk mengalihkan pembicaraan ia kembali bertanya, "Terus mau berangkat pukul berapa? Daripada nanti kemalaman, lebih baik kamu berangkat sekarang."
Ervan menyetujui saran Nana untuk segera berangkat ke rumah temannya. Malam itu benar-benar tenang. Langit tampak indah dihiasi bulan purnama dan dikelilingi bintang yang berkilauan. Siapa sangka kalau malam itu adalah malam yang menjadi saksi percakapan serta candaan terakhir bagi Nana dengan sahabatnya itu.