Dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Nabiyla Risfa Izzati, mengatakan UU Cipta Kerja seharusnya mampu membenahi persoalan UU Ketenagakerjaan. Selama ini UU Ketenagakerjaan dikenal sangat formalistik dan kurang melindungi buruh sektor informal. Tapi masalah itu tidak dituntaskan UU Cipta Kerja, justru malah menambah masalah baru. Misalnya soal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), alih daya, dan pengupahan dalam UU Cipta Kerja yang cenderung merugikan buruh.
Dia melihat hubungan kerja yang diatur dalam UU Cipta Kerja tidak menuntaskan masalah yang ada di UU Ketenagakerjaan seperti hubungan kerja yang sifatnya formal yakni ada unsur upah, perintah, dan pekerjaan. Padahal revolusi 4.0 membawa perubahan signifikan termasuk dalam hubungan kerja.
Selama ini pekerja lepas atau freelance sulit untuk ditempatkan dalam perlindungan hukum ketenagakerjaan karena kerja sama yang dijalin bentuknya kemitraan, bukan hubungan kerja.
“Perlindungan dalam UU Cipta Kerja hanya mencakup para pihak yang terikat dalam perjanjian kerja, bukan yang terikat dalam hubungan kemitraan,” kata Nabiyla dalam Hukumonline Academy 9 bertema “Potret Hukum Ketenagakerjaan Pasca UU Cipta Kerja: Mulai dari PKWT Hingga PHK” yang diselenggarakan secara daring, Selasa (4/5/2021). (Baca Juga: 10 Dampak UU Cipta Kerja terhadap UU Ketenagakerjaan)
Misalnya, PP No.35 Tahun 2021 tentang PKWT, Outcourcing, menggolongkan pekerja harian dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Hal ini berarti pekerja harian berhak mendapat tunjangan yang sama seperti pekerja PKWT umumnya, seperti tunjangan hari raya keagamaan (THR). Untuk tunjangan lainnya mengacu kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (PKB).
Menurutnya, salah satu hal yang positif dalam UU Cipta Kerja yakni adanya program jaminan sosial yang disebut jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Manfaatnya dapat diberikan kepada buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) berupa uang tunai, akses terhadap informasi pasar kerja dan pelatihan kerja.
“Tapi, baik UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja, maupun peraturan turunannya cenderung memberi perlindungan pada pekerja/buruh sektor formal,” kata Nabiyla.
Dia melansir data BPJS tahun 2019, sekitar 65 persen buruh bekerja di sektor informal. Perlindungan buruh sektor informal diserahkan pada mekanisme kesepakatan para pihak, hal ini tentu saja bakal merugikan buruh karena ada posisi tidak setara antara buruh dan pengusaha.
Selain itu, mekanisme PHK berubah karena Pasal 152 diubah. PP36/2021 diatur mekanisme PHK. Yang berubah soal PHK itu awalnya di UU Ketenagakerjaan PHK itu harus terjadi melalui mekanisme bipartit, kalau sepakat maka bisa keluar PHK. “Tapi di UU Cipta Kerja ini diubah, sekarang dimungkinkan PHK dilakukan melalui pemberitahuan kepada pekerja/Serikat Pekerja tanpa mekanisme bipartit. Jadi dilayangkan surat mengenai PHK. Kalau tidak merespon, maka PHK itu sah. Buruh punya hak menolak pemberitahuan PHK. Bila berujung ke PHI, yang berlaku itu putusan PPHI.”
Hal lain yang memberi perlindungan bagi buruh PKWT dalam UU Cipta Kerja yakni kompensasi PKWT ketika kontrak berakhir.
Kompensasi ini harus dibayar ketika kontrak selesai sekalipun PKWT itu akan diperpanjang.
Jika dalam perjalanannya pengusaha memutus PKWT di tengah jalan, maka buruh berhak mendapat ganti rugi sisa kontrak dan kompensasi PKWT.
Soal alih daya, Nabila mengatakan UU Cipta Kerja menegaskan tanggung jawab dan perlindungan buruh ada pada perusahaan alih daya. Tapi dia menyayangkan UU Cipta Kerja menghapus batasan jenis pekerjaan yang bisa dilakukan alih daya.
“Ketentuan ini membuka alih daya untuk semua jenis pekerjaan, dampaknya eksploitasi terhadap buruh alih daya makin meningkat,” katanya. (*)