Aku baru menyadari standar kecantikan menentukan segalanya di negara ini. Orang yang berkulit putih, wajah yang berbentuk oval, badan yang langsing dan tinggi akan menjadikan dirimu bak seorang ratu.
"Gitta, katanya mau makan?" teriak Mama.
"Iya, Ma," jawabku sambil berjalan menuju ruang makan.
"Bagaimana sekolahmu, Gitta?" tanya ayahku ketika melihatku sudah duduk di kursi.
"Aku hanya mempunyai satu teman. Mereka menjauhiku karena kulitku yang gelap," jawabku dengan menghela napas.
"Tiap ras memiliki ciri khas mereka sendiri, Gitta. Ini merupakan hasil adaptasi nenek moyang kita terhadap kondisi geografis yang dapat memengaruhi pigmentasi," jawab ayahku.
"Lalu mengapa mereka hanya merundung orang yang berkulit gelap? Bukankah mereka terlalu jahat?" sambungku.
"Mereka hanya tidak tahu dan tidak mengerti cara menghargai setiap perbedaan. Karena itu, kita harus banyak-banyak bersyukur," ucap Mama mengakhiri obralan malam ini.
Besoknya pukul 05.45 Mama datang ke kamarku. "Gitta, bangun, Nak. Bukankah hari ini kamu akan berangkat ke sekola, Nak?" tanya Mama sambil menggoyangkan tanganku.
"Ukhhh. Bolehkah aku hari ini tidak bersekolah dahulu?" pinta Gitta.
Mama dengan sigap langsung mengecek kondisi tubuhku.
Mama mengerutkan keningnya "Badanmu tidak panas dan kau juga lagi tidak sakit, bukan? Lalu, mengapa kamu ingin membolos hari ini?"
"Mereka mengucilkan diriku, Ma. Aku tidak suka ini."
"Lantas mengapa kau kabur dari mereka? Beranilah untuk menghadapi mereka."
"Baiklah," ucapku dengan lemas.
Ketika aku sampai di sekolah, masih ada sisa 11 menit sebelum bel berbunyi. Aku hanya menghabiskan waktu di kelas dengan membaca ulang buku tugas dan sekali-kali berbincang dengan Asteria.